Rabu, 05 September 2007

Cermin Retak di Pantai Puger


Obyek wisata yang mengabarkan batas tipis antara keindahan dan keprihatinan.

Pagi di
akhir Februari, Pantai Puger tak menampakkan keindahannya. Bagai si perawan yang malu-malu karena sedang datang bulan. Kepopuleran salah satu obyek wisata bahari Kabupaten Jember ini sedang menyuguhkan pemandangan lain hari itu. Tak cocok rasanya membukakan ruang batin untuk menikmati keindahan alam pantai semata bila tak meluaskan pandangan ke banyak aktivitas lain di tepi pantai.
Hari sebelumnya hujang deras datang siang sekitar pukul dua. Hari itu, tiba-tiba mendung datang lebih pagi sekitar jam sembilan disusul hujan deras dan angin kencang. Keindahan alam pantai dihela lebatnya hujan menjadi tak kentara. Entahlah, beberapa bulan
terakhir cuaca datang tak menentu. Aktivitas nelayan yang hendak melaut pun seperti berkejaran dengan datang dan perginya hujan. Rasanya, siapa berani menantang laut selatan saat hujan badai yang menghempas permukaan laut menjadi gulungan ombak besar seperti itu.
Nafik, misalnya, terpaksa memilih merapat kembali dan tak melanjutkan melaut
nya pagi itu. Dengan perahu mayang kecilnya yang diberi nama “Putera Bahari”, ia tak mau bertaruh melawan ganasnya laut. Tentu ia tak sendiri, puluhan bahkan mungkin ratusan nelayan buru-buru membalikkan haluan kembali ke pancer atau pelawangan pantai Puger.
Perahu mayang dan sekoci, yang ukurannya lebih besar, terayun-ayun mengikuti gulungan ombak. “Caranya memang seperti itu, mengikuti arus ombak. Kalau kita panik dan cepat-cepat tancap mesin justru malah celaka. Ini sudah berkali-kali terbukti,” kiat Nafik. Saat pulu
han perahu menyemut di pelawangan, setelah menempuh beberapa mil dari laut, bisa jadi merupakan pemandangan indah dan unik bagi wisatawan. Sebaliknya bagi nelayan merupakan hari naas karena tidak mendapatkan hasil laut.
“Keadaan ini sudah sudah biasa dialami nelayan. Kalau laut sedang bersahabat ya kita berangkat melaut. Kalau lagi musim angin barat, hujan turun tiba-tiba, angin berhembus kencang dan ombak besar, ya kita harus balik. Nggak apa-apa daripada kita celaka karena memaksaka
n diri. Tapi, dibanding kondisi alam, kita paling terpukul karena kenaikan bahan bakar minyak,” tandas bapak tiga anak asal Puger Kulon itu.
Apalagi masa-masa sekarang, yang diakui Nafik sedang musim paceklik. Laut Puger seperti menyisakan beberapa ikan saja bagi nelayan. Menggunakan perahu mayang kecilnya, Nafik biasanya melaut hingga 200 mil. Sehari-semalam saja mesin perahunya bisa menghabiskan sekitar 50 liter solar. “Padahal tangkapan kita ndak tentu, sementara harga solar sekarang segitu. Ndak nyucuk (pengeluaran tidak seimbang dengan pendapatan, red),” keluhnya.
Seingatnya, dalam beberapa bulan terakhir hanya sekali ia mendapat tangkapan besar. Sekitar pertengahan Januari lalu, ikan tuna dan kerapu besar-besar terjaring o
lehnya hingga total mencapai Rp 13 juta. Hari-hari berikutnya, bila ditotal paling-paling ia mendapat 200 potong sebulan. Sepotong (istilah yang digunakan nelayan setempat untuk menyebut satu bak ikan ukuran tiga kilogram lebih, red), harganya sekitar Rp 25 ribu. Pendapatan itu pun masih harus dibagi bersama lima teman lainnya yang ikut melaut. Minimnnya hasil tangkapan nelayan, turut mempengaruhi catatan PPI (Pantai Pelelangan Ikan) Jember.

Pemulung Sampah Kayu
Tapi, tak bisa tidak, perahu-perahu nelayan dengan segala
aktivitasnya menjadi pemandangan menarik tersendiri di pantai Puger. Meski dihantam berbagai kondisi kurang menguntungkan, mereka tetap menjadikan laut sebagai ladang kehidupannya. Daya tahan dan ketangkasan melautnya, mengingatkan kita pada kehebatan nenek-moyang yang melegenda sebagai pelaut ulung.
Itu sudah pasti. Tapi pantai Puger juga menyediakan pemandangan lain. Ada aktivitas masyarakat yang juga memanfaatkan tepian pantai sebagai ladang mata pencaharian. Pantai Puger bagaikan muara, segala jenis sampah terdampar di tepian pantai. Bagi wisatawan tentu ini bukan pemandangan bagus. Tapi bagi sebagian masyarakat di Kecamatan Puger, bisa berarti lain.
Lihat apa yang dilakukan Iwan, asal Desa Mojosari. Bapak dua anak ini rela kedinginan akibat gerimis yang belum juga reda, untuk mengais sampah kayu. Diantara tumpukan sampah, Iwan mem
betot satu-persatu kayu berbagai jenis. Apalagi, katanya, sehabis banjir bandang di Panti Jember beberapa waktu lalu, arus air menyeret kayu dari daerah itu. Stok kayu yang terdampar di pantai Puger pun menumpuk berlipat. Puluhan warga lain pun berebut mengais kayu dari tumpukan sampah yang terserak.
Tiba-tiba, “Yo ngono mas, tulis dan laporkan ke Yusuf Kalla, sana!” celetuk seseorang yang berbadan kekar, pakai kaos, celana pendek dan bertopi helm sambil terus membungkuk memungut sampah kayu. Celetukan itu sempat mengagetkan dan menggelitik keingintahuan apa maksud gerangan.
“Jangan kaget, orang-orang sini pada mengeluh dan gampang marah. Kami terpaksa memunguti kayu gara-gara tidak mampu beli minyak tanah,” Iwan segera menimpali. Pemungut kayu yang lain pun tersenyum-senyum kecut, seolah mengiyakan. Kegiatan mereka sehari-
hari memanfaatkan waktu untuk mencari kayu di tepi pantai. Tak peduli panas atau hujan. Kegiatan itu makin banyak dilakukan masyarakat setempat, utamanya setelah kenaikan harga bahan bakar minyak.
Iwan mengaku, kegiatan itu dilakukan sejak sehabis sarapan pagi. Menjelang pukul sebelas saat itu, ia dan kawan-kawannya belum juga usai. Ia nanti pulang hanya membawa satu sak kayu menggunakan sepeda ontel, untuk bahan bakar di rumah. Selebihnya, kayu-kayu itu ditumpuk di atas bebatuan di pelawangan pantai. Tumpukan kayu itu makin bertambah dan bertambah. Setelah tiga sampai empat hari, setumpuk kayu yang becak saja tidak akan mampu membawanya itu dijual dengan harga sekitar Rp 15 ribu. Para pembeli biasanya menggunakan truk domping untuk mengangkutnya.
Selain memungut kayu, ada pula yang mengambil sampah b
erbahan plastik atau kuningan. Munib, asal Desa Kalimalang Kecamatan Puger, misalnya. Pemuda yang semula bekerja sebagai penambang kapur itu terpaksa banting setir menjadi pemulung. “Kerja jadi penambang kapur tidak munguntungkan. Banyak pabrik tutup, karena harganya lebih murah dari kayu,” sergahnya.
Hasil memulung dianggapnya lebih lumayan. Sekali kerja ia bisa mengantongi uang antara Rp 10 ribu hingga Rp 15 ribu. Bersama seorang temannya, ia kini lebih suka menyusuri tumpukan sampah di tepi pantai Puger, sejak sekitar enam bulan lalu. Tumpukan sampah yang begitu banyak di tepian pantai, tak pernah membuatnya kuatir kehabisan. Pasang surutnya air, diakui, membawa berkah tersendiri. “Kalau air pasang kan banyak sampah dari tempat lain terdampar di sini. Saat air sedang surut kita lebih mudah memungutnya,” katanya.

Sepi Pengunjung
Di area pelawangan juga banyak pemancing. Mereka memanfaatkan bongkahan-bongkahan batu sebagai tempat berpijak. Gerimis tak digubrisnya. Mereka bergeming tetap melemparkan pancing yang yang dihempas-hempas ombak. Sebagian mereka memancing menyalurkan hobi, sebagian besar lainnya memang untuk mencari ikan. Meski mereka akui ikan yang didapat tak seberapa kecuali hanya ikan manyung. “Kalau dapat banyak lumayan. Sekilo harganya Rp 3 ribu,” sergah Widarto.
Bagi mereka yang hobi, memancing di pelawangan kurang memuaskan. Tak jarang mereka menyewa perahu sendiri menuju pulau Nusabarong. Di pulau ini ikan-ikan besar seperti kerapu dan tuna, masih sering berseliweran. Bila sedang untung, katanya, mereka bisa m
endapat puluhan kilo ikan, yang harganya juga mahal.
Apakah perahu-perahu nelayan dengan beragam aktivitasnya, pemungut sampah kayu, pemulung plastik dan pemancing, menjadi pemandangan tersendiri bagi penikmat wisata, entahlah. Rasanya, tanpa pemandangan ini, obyek-obyek lain tak cukup menarik karena kurang terawat. Jalan setapak yang menghubungkan pengunjung dengan watu alus, misalnya, rimbun oleh pepohonan. Apalagi jalan akses menuju air terjun atau goa yang penuh batu cadas.
Hari itu, ketika Mossaik berkunjung, adalah hari Sabtu. Bagi sebagian orang adalah hari libur. Tapi pantai Puger sepi pengunjung. Kunjungan paling ramai ketika ada acara larung sesaji setiap awal bulan suro. Dikatakan Fathul, 34 tahun, penjaga pos masuk, kunjungan bisa menca
pai ribuan orang dari berbagai daerah, saat larung sesaji. Selebihnya, kunjungan terus menurun hingga rata-rata 200-300 orang di hari-hari libur. “Apalagi musim hujan seperti ini, sehari-hari kunjungan wisatawan bisa dihitung dengan jari,” ungkapnya. –hm
ooOoo

Jalur Mencapai Pantai Puger
Pantai Puger bagian dari Samuera Indonesia. Terletak di Desa Puger Kulon Kecamatan Puger, Kabupaten Jember, sekitar 36 kilometer arat barat laut Kota Jember. Disamping menjadi tempat pelelangan ikan, juga sebagai tempat wisata karena alamnya yang indah. Mengunjungi tempat wisata ini, ada baiknya memilih waktu ketika tidak sedang musim hujan.
Jalur paling mudah, Anda bisa melewati pertigaan Rambipuji menuju ke arah Kecamatan Puger. Begitu sampai di Puger, Anda tinggal memilih dua jalur alternatif. Anda bisa menikmati keindahan pantai dari dermaga yang juga terdapat Pasar Pelelangan Ikan (PPI), sekira dua ratus meter depan pendopo Kecamatan Puger. Masuk area ini pengunjung tidak dikenakan karcis masuk kecuali parkir mobil. Namun untuk menikmati dari jarak dekat, pengunjung bisa menggunakan perahu yang banyak disewakan masyarakat. Sekali menyeberang pengunjung cukup membayar Rp 15 ribu.
Atau, pengunjung bisa memilih mendekat ke obyek dengan melewati jalan melingkar terlebih dulu. Namun hati-hati karena jalurnya masih berupa pasir berbatu. Jalur ini bisa ditempuh menggunakan kendaraan roda empat maupun roda dua, hingga ke bibir pantai. Namun jangan sampai salah jalan. Tak banyak papan petunjuk. Hanya ada satu papan petunjuk, itu pun sering dibolak-balik warga kampung. Beberapa ratus meter kemudian ada pos pembelian tiket. Tiap pengunjung dikenakan Rp 3 ribu. Pada hari libur harga tiketnya naik menjadi Rp 5 ribu.
Demikian pula ketika sampai di pertengahan jalan sepanjang satu kilometer itu. Perhatikan dengan saksama ketika sampai di perempatan. Arah ke kanan akan tembus hingga jalan raya ke kota. Jalan ini terkenal kurang aman karena sering terjadi pemalakan. Lebih aman pengunjung melewati jalan yang lurus saja hingga bertemu dengan rumah-rumah makan di pancer atau pelawangan pantai.
Namun, di tepian ini kiranya belum cukup untuk menikmati obyek-obyek keindahan lain. Obyek seperti air terjun, batu alus, goa dan lainnya, berada di bukit sebelah yang bisa dicapai dengan menyeberang dulu. Tak perlu kuatir karena ada banyak perahu wisata yang siap menyeberangkan setiap pengunjung. Karena dari sudut ini lebih dekat, biaya menyeberang hanya Rp 1000. Namun, pada hari libur biasanya naik menjadi Rp 2 ribu. Menyeberang dari sudut ini ke bukit sebelah hanya perlu dua menit. Nyaman, tak ada ombak besar. –hm



2 komentar:

darucahya mengatakan...

Puger... Puger ... Siapa sangka kota kecil di pesisir laut selatan di jawa timur ini tempat tinggal jodoh ku.
tak terfikir aku sampai disini.
tetapi... sekarang disinilah aku.
anak medan yang terdampar di kota puger..
Hidup Puger!!!!
Dengan keunikan dan kekurangannya, puger tetap kaya.

iwan mengatakan...

puger kotaku.kota kecil yg indah....