Impresi jejak suci sang wali terus menggema di sini. Terlebih saat bulan suci seperti ini, sang pengabdi Ilahi dari penujuru negeri tak henti datang silih berganti.
Kampung Ampel adalah sebuah kawasan di bagian timur Kota Surabaya yang dikenal mayoritas penduduknya merupakan etnis Arab. Kawasan ini, dulu, menjadi salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa pada masa walisongo. Kawasan ini kemudian menjadi ramai, bahkan jadi kawasan wisata religi termasyhur di Indonesia, karena terdapat dua ikon penting yaitu Masjid Agung dan Makam Sunan Ampel.
Tak heran, keberadaan dua ikon religi ini mampu menyedot ribuan pengunjung dari dalam dan luar kota Surabaya. Bahkan, pada momen-momen khusus, kerap kali ada pengunjung dari luar negeri untuk melakukan ibadah, iktikaf, berziarah di makam Sunan Ampel, atau sekadar jalan-jalan di Pasar Ampel.
Setidaknya, kata HM Amien Fathur, Humas Masjid Agung Sunan Ampel, setiap bulan ada dua kali masa ramai, yaitu Jumat Legi dan Ahad Legi. Puncak keramaian terjadi pada saat haul Sunan Ampel. Saat itu, jumlah pengunjung ditaksir bisa mencapai 5 ribu sampai 10 ribu orang.
Tapi, soal kepadatan pengunjung, justru terjadi pasa hari-hari selama bulan Ramadhan. Jumlah pengunjung Masjid dan Makam Sunan Ampel bisa melampaui 10 ribu orang per hari. Mereka datang sendiri-sendiri atau berombongan dengan berpuluh-puluh bus. Terlebih, pada sepuluh hari terakhir bulan suci, jumlah pengunjung makin berlipat-lipat memadati areal seluas sekitar empat hektar itu. Mereka pun terpaksa harus bergantian ketika hendak menunaikan shalat, terlebih untuk berziarah ke makam Kanjeng Sunan bernama asli Raden Rahmat Rahmatullah itu.
Tanah Ampilan
Bertolak dari sejarah, berdasar catatan dalam Kitab Pengging Teracah, setelah selesai mendatangi undangan Raja Brawijaya, penguasa Mojopahit, Sunan Ampel mendapat ganjaran Ampilan tanah untuk menyebarkan agama Islam di sisi utara tanah Jawa Timur.
Perjalanan Sunan Ampel kala itu dibarengi beberapa pengikut, diantaranya Ki Wirosaroyo. Wirosaroyo sebelumnya beragama Hindu. Setelah masuk Islam, ia menyatakan ingin ikut perjalanan Sunan Ampel ke Surabaya. Kebetulan ia punya anak gadis bernama Karimah (yang kemudian disunting Sunan Ampel). Sesuai tradisi Jawa, orang tua kadang dipanggil dengan nama anak pertamanya. Jadi Ki Wirosaroyo sering dipanggil dengan nama Pak Karimah, atau lebih populer lagi dengan sebutan Mbah Karimah.
“Sesampai di Surabaya, Sunan Ampel lebih dulu membangun tempat ibadah di Kembang Kuning. Nama Kembang Kuning konon berasal dari gebang kuning atau palm kuning yang waktu itu banyak tumbuh di kawasan ini. Versi lain menyebutkan, nama Kembang Kuning berasal dari hewan kumbang kuning,” jelas Amien.
Tempat ibadah yang didirikan Sunan Ampel bersama Ki Wirosaroyo ini, lanjutnya, berbentuk musholla kecil berukuran sekitar 12x12 meter dan sekilas mirip cungkup. Lantainya menyerupai siti inggil yang menurut kepercayaan sangat pas untuk munajat pada Ilahi. Setelah itu, Sunan Ampel melanjutkan perjalanan dan sempat pula membangun tempat ibadah di kampung Peneleh. Baru setelah itu, Sunan Ampel membangun masjid di Ampel Dento yang bertengger megah dan kian ramai hingga kini.
Jika mengunjungi masjid yang terletak di Jl. Ampel Suci 45 atau Jl. Ampel Masjid 53 ini, kita bisa melihat menara setinggi 30 meter di dekat pintu masuk sisi selatan. Di kompleks masjid, terdapat pula sumur dan bedug kecil peninggalan Sang Sunan, serta 16 tiang setinggi 17 meter (lengkap dengan ukiran kaligrafi bertuliskan Ayat Kursi) yang menyangga atap masjid seluas 800 meter persegi. Tak kalah menarik, kita bisa menyaksikan hiasan lambang Kerajaan Majapahit di bagian atas pintu yang mengelilingi Masid Ampel. Dipakainya rangkaian lambang itu, bisa jadi merupakan bentuk penghormatan Sunan Ampel pada Raja Mojopahit yang sudah berbaik hati memberi Ampilan tanah di Surabaya.
“Hingga sekarang, bangunan Masjid Ampel relatif masih sesuai aslinya. Ini sangat berbeda dengan Langgar Tiban di Kembang Kuning yang sudah berubah dari bangunan awalnya. Langgar itu sudah direnovasi total jadi Masjid Rahmat,” katanya. Renovasi total itu dilakukan, konon, untuk menghindarkan dari pengkultusan dan kesirikan yang bisa saja dilakukan oleh umat Islam.
Meski demikian, tak dipungkiri bila citra Masjid Ampel berselimut keagungan dan keajaiban. Termasuk cerita tentang Mbah Sholeh yang konon memiliki sembilan nyawa. Mbah Sholeh, kata sebuah riwayat, adalah pengikut setia Sunan Ampel, yang semasa hidupnya rajin membantu membangun dan membersihkan masjid.
Suatu ketika, Sunan Ampel tanpa sengaja berdesah, “Ah, seandainya Mbah Sholeh masih hidup, tentu pekarangan masjid tidak kotor begini”. Seketika itu, Mbah Soleh yang sudah meninggal, mendadak muncul dan segera membantu Sunan Ampel membersihkan masjid. Keajaiban itu berulang kali terjadi sampai sembilan kali, hingga wafatnya Sunan Ampel pada tahun 1478 di Ampel.
Mbah Sholeh pun yang meninggal tak lama kemudian dimakamkan di kompleks makam Masjid Ampel lama sebelah utara. Di sini, kita bisa melihat sembilan batu nisan yang berjejer rapi, sebagai tanda Mbah Sholeh pernah hidup dan mati sembilan kali. Di sisi barat masjid, ada makam Mbah Sonhaji atau juga dikenal dengan sebutan Mbah Bolong.
Menurut cerita, Mbah Bolong adalah orang yang berjasa menentukan arah kiblat dengan cara melubangi (mbolongi, jawa) dinding menggunakan jarinya untuk melihat Ka’bah di Mekkah. Selain makam Mbah Bolong, ada beberapa makam syuhada dan para santri Sunan Ampel. Beberapa meter dari makam-makam ini, terdapatlah makam Sunan Ampel, berdampingan dengan isteri pertamanya, Dewi Condrowati, salah satu putri Raja Brawijaya.
Lima Gapura
Kompleks masjid Agung Sunan Ampel yang didirikan pada 1421 Masehi oleh Raden Rahmat bersama para pengikutnya, lambat laun kian dipercantik. Menurut catatan, sampai tahun 1905, Masjid Ampel merupakan masjid terbesar kedua di Surabaya.
Oleh warga Ampel Denta, kawasan Ampel terutama Makam Sunan Ampel, dibangun sedemikian rupa dengan tujuan agar orang yang ingin melakukan shalat dan berziarah merasa nyaman dan tenang. Lingkungan Ampel kemudian dibangun lima gapuro (pintu gerbang) yang konon melambangkan lima Rukun Islam.
Kalau kita berkunjung ke tempat ini melewati arah selatan, tepatnya di Jalan Sasak, terdapat Gapuro Munggah. Gapuro Munggah merupakan simbol bahwa muslim yang mampu berkewajiban naik haji. Melewati gapuro ini, kita dapat menikmati suasana perkampungan yang mirip Pasar Seng di dekat Masjidil Haram Mekkah.
Di ujung lorong Ampel Suci ini, kita akan menemui Gapuro Poso yang menjadi pengingat akan kewajiban berpuasa bagi setiap muslim selama bulan Ramadhan. Gapuro ini terletak di sisi selatan Masjid Ampel. Setelah melewati Gapuro Poso, kita memasuki halaman masjid. Dari sudut ini, tampak bangunan masjid yang megah dengan menaranya yang menjulang.
Setelah melakukan ibadah di masjid, ada baiknya kita melanjutkan perjalanan dan akan akan kita jumpai Gapuro Ngamal. Di sini kita bisa bersedekah sesuai kemampuan dan keikhlasan. Amal dan sedekah kita nantinya akan digunakan untuk kebersihan dan pelestarian kawasan masjid dan makam. Gapuro Ngamal ini sekaligus menjadi simbol tentang kewajiban membayar zakat.
Tak jauh dari Gapuro Ngamal, di sisi barat, kita akan menemui Gapuro Madep yang letaknya persis di sebelah barat masjid. Sebelah kanan gapura ini terdapat makam Mbah Sonhaji yang menentukan arah kiblat Masjid Agung Sunan Ampel. Gapura ini menyiratkan akan pelaksanaan sholat menghadap kiblat.
Selanjutnya, sebelum memasuki makam Sunan Ampel, kita akan menjumpai Gapuro Paneksen. Gapura terakhir ini menjadi simbol akan kesaksian atau syahadat bahwa, “Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah."
Pasar Wisata
Selain nuansa religi yang bisa ditemui di banyak sudut kawasan ini, keberadaan pasar tak pelak turut meramaikan kawasan yang kental suasana Timur Tengah di lingkungan Ampel. Pasar tersebut setidaknya berada di dua lorong yang menghubungkan jalur Ampel dengan titik sentral Masjid dan Makam Sunan Ampel, yaitu di Jalan Ampel Suci dan Ampel Masjid.
Diantara keduanya, kata Alifa, 38, pemilik toko Alifa, pasar di Jalan Ampel Suci lebih dulu dibuka. Di jalan sepanjang lebih kurang lima ratus meter ini dipenuhi oleh pedagang cinderamata, busana muslim, peralatan sholat seperti songkok berbagai merek, mukena, tasbih, al-Quran, buku-buku agama hingga VCD dan DVD religi. Harga barang dagangan di sini relatif terjangkau, antara Rp 2 ribu sampai Rp 150 ribu. Tapi ada juga yang harganya mencapai Rp 750 ribu.
Sebagian produk busana dan peralatan shalat adalah buatan lokal, seperti dari Gresik, Pasuruan, Bangil, Banyuwangi, Tuban, Probolinggo, Solo, Pekalongan, Banjarmasin, dan sebagainya. Sebagian lainnya didatangkan dari Pakistan, India atau Polandia. Pedagang pasar ini melayani grosiran dan ritel. Disamping itu, ada banyak pedagang lainnya yang menjajakan makanan dan minuman, korma, parfum dan bahkan ada juga yang menjual mainan anak-anak.
Pedagang itu sebagian adalah penduduk asli kampung Ampel, sebagian lainnya pendatang yang ikut menangguk peluang di kawasan Ampel. Merekapun ada yang sewa tempat secara permanen untuk toko dagangannya. Keberadaan pasar ini hanyalah satu bagian dari keseluruhan kawasan wisata religi Ampel. Berkunjung ke kawasan ini terasa makin nyaman karena sejak 2003 lalu telah dikembangkan sebagai kawasan wisata religi oleh Pemerintah Kota Surabaya. Lorong di Ampel Suci ini pun lebih sejuk karena dilengkapi dome yang kian menambah kenyamanan pedagang maupun pengunjung.
Sejak ditetapkan sebagai kawasan wisata religi, berbagai perbaikan telah dilakukan, antara lain peningkatan jalan Sasak, KH Mas Mansyur, Nyamplungan, showroom produk-produk dan kerajinan Surabaya, tempat penataan PKL (Pedagang Kaki Lima), pembangunan dome di jalan Ampel Masjid, pembangunan dua gapura selamat datang di jalan Nyamplungan dan jalan Sultan Iskandar Muda, pembangunan lahan parkir untuk bus, dengan kapasitas 40 bus.
Kawasan ini juga dilengkapi dengan Pasar Ampel, yang sebelumnya dikenal sebagai Pasar Kambing di jalan Nyamplungan. Setidaknya, pasar baru ini akan makin melengkapi ikon wisata religi di kawasan Ampel. –hm/foto: mamuk is
Tidak ada komentar:
Posting Komentar