Kamis, 13 Maret 2008

Sri Adiningsih: Gizi Buruk Mengintai Anak Jawa Timur

Akibat gizi kurang, Jawa Timur telah kehilangan generasi penerus.

Selain dikenal sebagai lumbung padi nasional, sekadar berkelakar, Jawa Timur juga lumbung anak-anak kurang gizi. Akhir tahun 2005 lalu, dilaporkan terdapat sekitar 6 ribu anak-anak mengidap gizi buruk dan gizi kurang. Jumlah ini stabil dibanding tahun lalu. Tapi, di tengah bencana dan penanggulangan kekurangan gizi yang masih timpang, bukan tidak mungkin angka anak kurang gizi atau gizi buruk akan meningkat tahun ini.
Gejala ini sebenarnya sudah dimunculkan oleh Sri Adiningsih, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur, jauh sebelumnya sekitar tahun 2003. Namun, suara Bu Din, panggilan karibnya, terlalu lirih sehingga tak dengan serta merta menggerakkan pihak-pihak yang paling berwenang. Ketika persoalan ini benar-benar menjangkiti daerah dengan penduduk 35 juta jiwa ini, bahkan dalam skala yang tidak main-main, banyak pihak kebakaran jenggot. “Indikatornya sudah terbaca sejak sekitar dua-tiga tahun lalu. Soal gizi ini seperti puncak gunung es saja. Jumlah anak gizi buruk yang terpublikasikan hanya sebagian saja dari gundukan besar persoalan sebenarnya,” kata Dosen Fakultas Kedokteran Masyarakat Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.

Bagaimana gambaran gizi buruk di Jatim?
Berdasar survey saya dengan Badan Ketahanan Pangan Jatim, kita temukan bahwa telah terjadi loss generation di Jatim. Usia sekolah yang dulu tidak ada, ternyata tinggi sekali, termasuk. Ini terjadi karena mereka lahir saat krismon. Mereka ini prevalensi gizi buruknya mencapai 20 persen. Sementara balita, gizi buruknya 8,7 persen. Ini laporan dari Dinas Kesehatan Jatim. Penelitian yang kita lakukan pada 2003 itu pun, belum menyentuh soal gizi sekeluarga. Kita menemukan, ternyata lebih banyak perempuan daripada laki-laki gizi buruknya. Faktor gender memegang peran juga dalam masalah gizi buruk.
Penelitian itu mengambil sampel di 4 ciri argo ekologis; pegunungan, pantai, daerah kapur dan perkotaan. Semua bayi tidak ada gizi buruk/kurang, tapi begitu balita mulai sangat kentara. Ini berarti terkait dengan pola asuh. Di daerah pantai, banyak bayi gemuk karena gula (sugar baby) karena makan nasi pisang. Seiring bertambahnya umur dia tidak cepat diganti dengan makanan lain. Harusnya kan mulai ada protein, zat besi, hb-nya turun, kurang anemia. Yang kita teliti masih sampai pada gizi protein. Belum sampai yang terkena anemia ada berapa dan seterusnya. Andai sudah sampai di situ, pasti akan lebih seram lagi.

Sebelum blow up gizi buruk pada 2005, Sri Adiningsih telah menemukan, pola konsumsi masyarakat hanya 70 persen dari angka anjuran kecukupan protein dan kalori. “Waktu itu saya tidak berani ngomong. Apa penelitianku salah atau gimana, bingung saya. Padahal hasil penelitian itu betul, di 8 kabupaten dan 800 KK,” kenangnya.

Berarti angka di tahun 2005 seperti apa?
Belum saya teliti lagi. Tapi menurut data Dinkes Jatim, cuma lima persen. Biasanya, mereka yang kena gizi buruk, banyak yang ndelik, tidak mau datang ke Posyandu. Padahal, merekalah yang harus lebih banyak mendapat penyuluhan. Ironisnya, bidan yang mestinya memberi penyuluhan jumlahnya tidak banyak. Biasanya satu kecamatan, hanya ada satu-dua bidan. Sementara Posyandunya mencapai 60. Ini tidak mungkin, ditambah lagi tidak ada dana cukup untuk kegiatan penyuluhan.

Selama 2005, jumlah penderita gizi buruk mencapai 6 ribu orang, atau rata-rata 1.800 hingga 1.900 orang per bulan. Berdasarkan catatan Komite Penangangan Kemiskinan Pemprov Jatim diperkirakan jumlah penderita gizi buruk di Jatim mencapai 50.072 balita, hingga akhir 2005 nanti. Angka itu, lanjut Bambang, sebetulnya belum menunjukkan jumlah balita yang mengalami gizi buruk se-Jatim. Banyak sekali kasus-kasus yang tidak tertangani, khususnya di daerah-daerah terpencil.
Saat ini ada 9000 Posyandu di Jatim. Tapi Posyandu tersebut banyak yang tidak diaktifkan. Dinkes kabarnya telah menyiapkan anggaran revitalisasi posyandu sebanyak Rp 2,6 miliar sedangkan dari APBN sekitar Rp 15 miliar. 'Gubernur sendiri memberikan bantuan Rp 20 juta kepada 38 kabupaten/kota yang digunakan untuk pengadaan makanan tambahan dan timbangan bagi balita.
Diperkirakan, kebutuhan dana untuk menangani (intervensi) satu balita anak KLB (kondisi luar biasa) gizi buruk adalah Rp 1,35 juta. Untuk kasus 9.532 KLB balita gizi buruk selama satu tahun adalah Rp 12,86 miliar. Kebutuhan anggaran untuk ini berasal dari APBD provinsi, APBN, dan dana dari 38 kabupaten/kota.

Apa faktor dominannya sehingga gizi kurang di Jatim demikian besar?
Pola asuh dan stok pangannya. Tapi sebenarnya faktornya tiap daerah tidak sama. Di kota misalnya, stok pangan tersedia, tapi daya belinya rendah. Dari 4 ciri yang kita teliti, yang paling jelek adalah area gunung kapur. Ini misalnya, dari daerah Madura tepatnya Sampang sebelah utara, atau daerah Trenggalek mulai Ponorogo sampai Pacitan, dan lain-lain. Daerah ini kan daya dukungnya rendah. Tidak seperti pantai, misalnya, banyak disuplai dari laut dan perikanan. Daerah pegunungan dari pertanian, dan perkotaan disuplai dari keduanya; pantai dan pegunungan.

Kalau pola asuh menyangkut penyuluhan dan tumbuhnya kesadaran masyarakat. Bagaimana dengan stok pangan?
Yang penting kelangsungan, bukan fluktuasi. Jadi, panen atau tidak, mestinya mereka tetap bisa mengkonsumsi kebutuhan gizi dengan layak. Di kota, bisa jadi ndak kenal panen-ndak panen. Tapi di daerah pemasoknya, seperti musim kering atau paceklik, pertanian tidak menghasilkan apa-apa. Begitu juga nelayan, pada musim barat, mereka tidak bisa makan. Terpaksa mereka harus makan tempe, padahal itu harus beli.
Di daerah pertanian, kalau sudah paceklik panjang, mestinya pemerintah mau menolong memberi pekerjaan mereka. Misalnya program padat karya, apakah membangun jalan, bikin saluran tersier, dan sebagainya. Itu kan lebih konkrit, memberi income dan mereka akhirnya bisa makan. Nah, justru yang saya prihatin di daerah kapur. Sampai-sampai saya berpikir, apa daerah ini tidak boleh dihuni saja. Sebab, apa yang bisa dihasilkan dari daerah kapur ini.

Langkah pemerintah menanggulangi ini?
Sayangnya, pemerintah membuat sama karakteristik persoalan tiap daerah yang mestinya berbeda. Akhirnya jenis intervensi tidak sesuai dengan masalah daerah. Pastronnya sama, sehingga pelaksana hanya menunggu juknis-juklak dari pusat. Karena patronnya sama, solusinya tidak bisa dikembangkan sebagaimana mestinya. Contoh sederhana, di daerah pegunungan, anak-anak seusia sekolah dasar sudah bekerja di sawah. Di masa pertumbuhan seperti itu, mestinya makannya banyak. Tapi nyatanya, jatah makan mereka sama.

Bisa dibayangkan bagaimana anak-anak kita ke depan.
Nah, hak atas pangan yang cukup dan sehat itu hak anak. Di masa susah yang harus dipikirkan adalah anak. Sebab, anak bukan hanya penerus bangsa, tapi juga centelan bagi orang tua. Kalau anaknya “jadi”, yang ngunduh (memetik buahnya, red) juga orang tua. Ini yang kurang disadari. Bagi sebagian orang, kalau ada masalah, anak bagian terakhir. Kalau sampai meninggal, maaf, nanti malam bisa buat lagi. Di daerah kapur, misalnya, kehilangan sapi jauh lebih prihatin, daripada kematian anak. Bahkan yang pernah saya temui, di musim kering mereka antre air. Tapi untuk sapinya, bukan untuk anaknya.
Di bagian lain, ada ibu yang menderita kekurangan jodium sejak hamil, melahirkan bayi-bayi kriting. Kriting itu gangguan kepandaian, dan gangguan yang berpengaruh pada pertumbuhan. Misalnya, anaknya pendek tapi tetap pandai. Satunya lagi, orangnya tinggi tapi blo’on. Itu banyak tersimpan di daerah-daerah lama, seperti Ponorogo, Blitar, dan lainnya. Indikatornya mudah, di daerah itu banyak sekolah luar biasanya (SLB). Sekolah ini sangat dibutuhkan, karena bila tidak, anak-anak itu tidak bisa naik kelas dua atau tiga. Mereka tertumpuk di kelas satu.
Kalau ada pemerintah datang dan memberi obat, anak-anak itu bisa digenjot. Tapi di Jawa Timur tidak dilakukan. Padahal kalau anak-anak bodoh, akan jadi beban yang dewasa. Anak-anak bukan jadi centelan orang tua, sebaliknya orang tua akan terus ngopeni mereka, bahkan hingga si anak telah menjadi lansia.

Persoalan ini nampaknya tak pernah muncul ke permukaan.
Ya. Dari dulu hal ini tidak pernah dibicarakan. Padahal, persoalan gizi ini bisa menjadi indikator keberhasilan pembangunan.

Persoalan gizi kurang ini berpengaruh pada produktivitas.
Kalau diotak-atik begini. Berdasar sensus, balita kita jumlahnya 17 persen. Kalau ada 30 persen dari jumlah itu mengalami gizi kurang, berarti negara ini nantinya punya tenaga kerja hanya lulusan SD. Di pabrik pun mereka bisa apa, bagian angkat-angkat saja, ndak bisa jadi pemikir. Akhirnya, negara ini tidak akan punya produktivitas tinggi.
Dan, sejak saya bekerja di Puskesmas pada 1978-1979, angka gizi baik tidak pernah bergeming dari 55 persen. Pergeseran pada jaman Orde Baru, obesitas atau gizi lebihnya memang muncul, tipi gizi baik tetap 55 persen. Sejak jaman reformasi, gizi lebih dan gizi baik, berpindah kuadran ke gizi kurang semua. Seperti itu tren-tren yang terjadi. Artinya, negara ini nantinya akan amat tergantung dari 55 orang yang produktif ini. Padahal hutang negara kita akan lunas dalam berapa generasi. Negara kita dibayang-bayangi keterpurukan.
Karena itu, saya bilang, intinya indikator pembangunan ada pada gizi. Meskipun income per kapita sebuah kabupaten/kota meningkat, tapi masih ada gizi buruk di daerahnya, janganlah omong besar. –hm

----- BOKS -----
Jawa Timur Butuh Vital Statistik yang Memadai
Ke bawah meluaskan jaringan, ke atas mendesakkan regulasi.

Apa program yang tengah digalakkan LPA?
Sesuai Undang-undang Perlindungan Anak, kita konsen dengan pemenuhan hak anak. Mulai dari hak hidup, hak tumbuh-kembang, hak partisipasi, dan hak mendapat perlindungan. Diantara hak-hak tersebut, program kita sedang konsen dengan hak tumbuh kembang menyangkut identitas atau akte kelahiran.
Di Jawa Timur, anak yang mendapat akte lahir hanya 30 persen. Di Surabaya yang mengurus ke catatan sipil khusus akte lahir, kira-kira 49 ribu. Itu yang sadar, lainnya tentu masih sangat banyak. Nah, LPA berusaha mendekatkan agar ada akte kutipan gratis. Kita desakkan ini pada dispenduk agar tiap anak lahir dicatat. Dengan dicatat keuntungannya banyak. Pemerintah bisa tahu pertambahan jumlah penduduknya. Lalu, fasilitas apa yang mesti ditambah tiap tahun. Bangku sekolah tambah berapa, vaksin tambah berapa, kalau butuh susu berapa kuintal yang dibutuhkan dan seterusnya. Daripada dulu yang hanya bersandar pada estimasi, sehingga angka dan penyaluran dana tidak jelas.
Apalagi kalau ini menjadi bagian dari statistik kita, tentu akan lebih bagus. Kalau Solo bisa, mengapa kita tidak. Saya mengandaikan, dari 38 kabupaten/kota di Jatim ada yang mengikuti polanya Solo. Di Solo tidak hanya kutipan gratis, tapi catatan itu menjadi vital statistiknya. Mulai bayi lahir tidak cukup bulan, tidak cukup berat, yang dapat layanan imunisasi, lalu bapak-ibunya kerja atau tidak, semua tercatat lengkap. Kalau semua itu ada, akan meringankan penyusunan anggaran. Jadi tidak bohong lagi. Pemerintah kita (Provinsi Jatim, red) belum sampai ke situ.
Padahal, kalau satu akte biayanya Rp 12 ribu, paling-paling butuh Rp 600 juta untuk memberikan akte. Angka ini tidak seberapa dibandingkan untungnya di anggaran. Soal akte lahir ini sangat vital. Sebab, bila dirunut, kalau tidak punya akte, nanti tidak punya KSK, KTP, lalu no job. Ekses lain memancing terjadinya trafficking, perdagangan anak, TKI/TKW, atau kawin muda, gara-gara tidak punya akte.

Dimana letak kesulitan pengurusan akte ini?
Kalau surat lahir itu ada di kelurahan atau dusun, mudah. Tapi ini harus mengurus di catatan sipil di kabupaten sentral kota. Kita berusaha supaya prosedur itu diturunkan. Level pendataannya turun di level yang paling dekat dengan masyarakat. Katanya Jatim adalah provinsi dengan layanan publik terbaik.
Kalau bisa, di RT/RW ada formnya, lalu dicatat tanpa biaya. Kan benar. Tidak perlu ada alasan pegawainya kelelahan mencatat akte, kalau saja sistem komputerisasi digunakan. Anehnya, di tingkat Surabaya pun, soal ini tak tertangani dengan baik. Di daerah lain bisa mengatasi persoalan ini, karena memanfaatkan komputer sisa pemilu. Saya kira, Surabaya ndak usah malu melakukan hal yang sama, kalau memang alasannya tidak ada komputer dan printer.

Bagaimana setelah persoalan akte itu anda desakkan kepada pemerintah?
Pemprov Jatim sudah berjanti di depan dinas kependudukan se-Jatim. Diantaranya yang sudah disepakati, selama kurang dari 60 hari, pengurusan akte gratis. Yang kita minta bahkan ada akte pemutihan bagi mereka yang tidak bisa. Kita lihat nanti dampaknya seperti apa.

Selain akte, tak kalah penting soal pendidikan dan kesehatan anak.
Tak bisa dipungkiri, kebanyakan warga Indonesia, terbanyak lulusan SD. Dan Jatim adalah penyumbang terbesarnya. Ini memalukan. Karena itu, meski Jatim penduduknya banyak, tapi tidak kaya. Soal UMR, misalnya, kalau dipatok Rp 615 ribu, yang bisa mencapai angka itu hanya lulusan SMA. Mengapa kita tidak bikin program, bukan hanya wajib belajar 9 tahun, tapi 12 tahun.
Kalau ingin Kota Surabaya ini enak untuk hidup, program pendidikan 12 tahun ini mesti diujudkan. Kalau sebagian besar masih lulusan SD mau jadi apa, ya tukang becak, PKL, buruh. Atau kalau tidak bisa ya kriminal. Surabaya akan selamanya begitu kalau membiarkan warganya hanya cukup lulusan SD.

Bagaimana dengan bidang kesehatan?
Anak-anak kita belum mendapat layanan kesehatan dasarnya, seperti imunisasi dan lain-lain. Dalam prioritas penanganan pun tidak pernah nomor satu. Di rumah sakit atau di antrean pelayanan pasti mendapat urutan belakang.
Pernah kita melakukan gerakan makan telur seminggu dua kali. Dari penelitian kita, anak SD makan protei hewani, satu minggu satu kali. Bahkan ada di Jatim ini, anak-anak baru pernah makan protein hewani satu tahun satu kali, pada saat Idul Qurban.
Kita juga memantau pekerja anak di beberapa home industry. Seperti di Tanggulangin, mereka terpaksa mbolos sekolah kalau ada pesanan tas-tas seminar. Kecuali mendapat uang saku, sayangnya tidak ada perlindungan terhadap anak-anak kecil itu.

Advokasi di tingkat regulasi, apa lagi yang anda munculkan?
Saya ingin di perda perlindungan anak ada larangan begini. Tujuan perda ini kan Surabaya kota ramah. Artinya tidak ada pekerja anak, pekerja seks anak, anak cacat bisa difasilitasi. Ndak perlu malu kalau memang ada banyak anak cacat di kota ini. Kalau Surabaya ramah, anak-anak itu bisa jalan-jalan dengan aman, tidak ada yang mengganggu, memperkosa, atau menjahili. Anak-anak cacat juga bisa jalan-jalan di trotoar naik kursi roda. Ada banyak tempat bermain anak-anak (children center). Perda ini sudah masuk di dewan, tapi hingga kini belum ada respon.

LPA adalah jaringan pemerhati anak. Baik LSM atau instansi. Sri Adiningsih sendiri dari Yayasan Insani untuk anak-anak jalanan. Kemudian dipilih menjadi pengurus LPA oleh majlis. LPA pertama berdiri 1998. Semula, ia di Divisi Layanan Anak. Setiap ada kasus hukum anak, misalnya, Sri A yang melakukan litigasi dan mendampingi, bahkan hingga ke pengadilan. Setelah tiga periode berjalan, divisi layanan masuk kerja LSM, sementara LPA hanya untuk advokasi kebijakan. Yang menjadi agenda sekarang, meloloskan perda perlindungan anak di Surabaya, dan kedua, lapas ramah anak. Bidang kedua ini, advokasi dilakukan mulai dari Depkumham hingga ke lapas anak di Blitar. Di lapas Blitar, diusahakan jam besuk anak dilonggarkan sehingga kontaknya bisa lebih ramah. Dan LSM bisa masuk ke sana, untuk memberi pelatihan atau pendampingan yang bermanfaat setelah mereka keluar. Ini sudah dilakukan sejak setahun lalu.
Jaringan kerjasama juga diperluas hingga ke daerah-daerah di Jatim. Yang sudah terbentuk diantaranya di Sidoarjo, Tulungagung, Probolinggo dan Sumenep. Jaringan ini masih akan diperluas, terutama di daerah-daerah yang rawan bermasalah. Seperti di Balitar atau Kediri. “Selain kita menggelitik pemdanya, kita juga mendorong munculnya LSM yang kuat di daerah,” katanya.
Dari awal LPA didirikan oleh Unicef. Area kerjanya di 8 kabupaten yang mesi mendapat perhatian lebih untuk perlindungan anak atau KHPIA. KHPIA adalah kabupaten yang dimonitor angka masalah kesehatan anak terburuk. Delapan daerah KHPIA itu belum semua ada LSM-nya.

Eksistensi LPA tetap mencorong di tengah lembaga-lembaga serupa yang meredup.
Syukurlah. Walau bagaimana pun akan jalan terus. Karena, ke depan masih banyak masalah yang mesti mendapat advokasi. Memang kita tergantung dana, tapi pengurus tetap berusaha agar kerja-kerja kita tetap berjalan.

Komitmen yang kuat itu ditunjukkan Sri Adiningsih dengan Yayasan Insani-nya. Kepeduliannya yang begitu mendalam terhadap persoalan anak di Jatim, ia memilih tetap sendiri hingga kini. “Anak-anak itulah mutiara dan keluarga saya,” cetusnya. –hm

BIODATA
Nama : Dr dr Sri Adiningsih, MS, MCN
Kelahiran : Tulungagung, 26 Juni 1950
Alamat : Jl. Semolowaru Tengah VI/12 Surabaya
Pendidikan : Menamatkan sekolah dasar dan menengahnya di Surabaya (SD Simpang III, SMP VI, dan SMA V). Pendidikan tinggi berhasil diselesaikannya; S1 Fakultas Kedokteran Umum Unair, S2 Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Unair, Master of Community Nutrition di Quensland University Brisban, dan Lulus Ujian Doktor Ilmu Kedokteran Program Pascasarjana Unair, Surabaya.
Profesi :
- Kepala Puskesmas Kec. Semampir Surabaya, 1978-1981
- Dosen bagian Gizi Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat FK Unair, 1978-1992
- Dosen Jurusan Gizi FKM Unair, 1992-sekarang
- Dosen S2-IKM, Program Pascasarjana Unair, 1987-sekarang
- Dosen Fak. Kedokteran Univ. hang Tuah Surabaya, 1990-1992
- Anggota (Koordinator Technical Asistance), Proyek CHN3 (Community Health & Nutrition) Komponen Dikti, FKM Unair dalam rangka kerjasama CHN3 Komponen DepKes di Prov NTT, 1992-sekarang
- Asisten Koordinator Penelitian Multi Senter, Hubungan KB dan Produktivitas Kerja, FKM se-Indonesia, USAID, 1992
- Komunikator, FKM pada Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Unair, 1994-1998
- Konsultan Gizi, CHN3 Komponen Dikti FKM Unair di Kab. Belu, NTT, 1997
- Kepala bagian Gizi Kesehatan Masyarakat, FKM Unair, 1994-1998
- Pembantu Dekan II FKM Unair, 1998-2004
Organisasi :
- PANTAP KB IDI Cabang Surabaya, 1989-2000
- Direktur Eksekutif Klinik IDI Path Funder Surabaya, 1993-1995
- Konsultan Gizi, Slimming Senter Pasific Health Beaty Salon, Surabaya, 1987-sekarang
- Pengasuh rubrik “Life Style” Harian Bisnis Indonesia, 1993-1994
- Pengasuh Konsultasi Gizi Tabloid Nyata, 1995-2000
- Aktivis Pusat Studi Gizi Unair, 1993-sekarang
- Tim Gizi Klinik RSUD Dr. Soetomo/FK Unair, 1993-sekarang
- Pengurus Pergizi – Pangan Jatim, 1995-sekarang
- Pengurus IDI Cabang Surabaya, 1991-2002
- Anggota PDGMI (Persatuan Dokter Gizi Medik Indonesia), 1998-sekarang
- Konsultan Anak Jalanan LSM Plan International, 1995-sekarang
- Anggota Pokja Anak Jalanan Bappeda Surabaya, 1997-2000
- Ketua Pokja PGKM (Pangan, Gizi, Kesehatan Masyarakat) FKM Unair, 1998-sekarang
- Ketua Divisi Pelayanan dan Akses Anak LPA (Lembaga Perlindungan Anak) Jatim, 1998-2002
- Ketua LPA (Lembaga Perlindungan Anak) Jatim, 2004-2007
- Wakil Ketua BKS PGKM Nasional, 2000-2003
- Ketua BKS PGKM Nasional, 2003-2006
- Badan Pengurus Konsultan Lembaga GN-OTA Kota Surabaya, 2000-sekarang
- Anggota Senat FKM Unair, 2001-sekarang
- Ketua Yayasan Insani, Surabaya, 1997-sekarang

*) Naskah ini pernah dimuat di Majalah Mossaik, Suara Surabaya Media

Tidak ada komentar: