Bangunan bersejarah, termasuk bangunan kolonial, banyak yang musnah. Penanda dan saksi sejarah kota Surabaya ikut terkoyak. Jati diri sebuah kota dan bangsa tak lagi membanggakan. Generasi mendatang lahir tanpa kenangan dan semangat perjuangan.
Sekurang-kurangnya, sejarah Surabaya masuk percaturan dunia secara pasti sudah dimulai sejak awal pertumbuhan Majapahit. Ketika kota pelabuhan niaga Hujunggaluh (abad X) diganti namanya menjadi Curabhaya oleh raja Majapahit Kertarajasa Jayawardhana atau Raden Wijaya, pada 31 Mei 1293. Perubahan itu untuk menandai kemenangan pasukan R Wijaya yang dibantu oleh penduduk Hujunggaluh atas pasukan Tartar (Mongol dari Cina). Peristiwa heroik ini sekaligus dimitoskan dan dilambangkan sebagai pertempuran ikan Sura dan Baya (Surabaya).
Hingga abad XV, konon ketika Mahuan, ulama Islam dari Cina, datang berkunjung ke keraton Majapahit (1413) mencatat perkembangan kota Surabaya sejajar dengan kota-kota tetangga, seperti Gresik, Tuban dan ibu kota Majapahit. Keempat kota ini tak berbatas tembok, dan Surabaya dihuni oleh sekitar seribu orang keluarga, termasuk orang-orang Cina yang rata-rata orang kaya. Bila setiap keluarga terdiri dari empat atau lima orang, berarti Surabaya waktu itu berpenduduk sekitar empat ribu atau lima ribu orang. Artinya, Surabaya sudah memenuhi standar minimal sebuah kota yang ditetapkan harus berpenduduk 2000-3000 orang. Sejak itu pula Surabaya berkembang menjadi kota pelabuhan.
Keberadaan Surabaya sebagai kota pelabuhan makin penting dalam perdagangan rempah-rempah di Jawa Timur (XVII). Terbukti ketika Hendrik Brouwer, seorang Belanda, datang mengunjungi pantai Surabaya (1612) ia menjumpai banyak pedagang Portugis sedang membeli rempah-rempah dari penduduk pribumi. Pedagang pribumi sendiri membeli rempah-rempah secara sembunyi-sembunyi dari kepulauan Banda, karena sebelumnya ada persetujuan dengan VOC bahwa orang-orang Banda dilarang berdagang untuk kepentingan sendiri.
Sedemikian pentingnya pelabuhan Surabaya di mata para pedagang Belanda, sehingga Jan Pieterzon Coen mendirikan sebuah loji (1617) di Surabaya, sebuah tempat untuk mengadakan hubungan dagang dengan para pedagang di sekitarnya. Sayang, tak ada catatan yang valid menunjukkan di mana letak loji tersebut berada. Yang pasti, Surabaya waktu itu telah menjadi bandar yang sangat penting di wilayah Timur. Gambaran kota Surabaya waktu itu menurut GH Von Faber, Surabayanis asal Belanda yang mencatat sejarah Surabaya dalam Oud Soerabaia, Nieuw Soerabaia, sebagai kota yang mempunyai luas dengan garis tengah 5 mil, sebagian dibatasi dengan tembok, sebagian oleh sungai yang bersih mengalir di bawahnya dan di tepi sungai terdapat meriam. Sebuah sungai yang besar (Kalimas) mengalir melalui kota ini, ada juga beberapa pintu air. Setiap pintu gerbang menuju kota ada 15 sampai 20 orang penjaga dan beberapa orang pemungut cukai yang memungut 10 persen dari jumlah pemasukan.
Deskripsi yang sama pernah diungkapkan Artus Geijsel (1620-an), bahwa lingkaran kota adalah 5 mil. Sebagai pertahanan separoh kota dikelilingi tembok dan separuhnya lagi oleh baliwerti (onggokan tanah). Selain itu seluruhnya dikelilingi parit indah. Diantara tembok dan parit berdiri tanggul yang kuat. Pada setiap jarak tembakan meriam terdapat benteng kecil yang berbentuk bujur sangkar. Setiap benteng ada 10 sampai 12 meriam, sehingga mudah dipertahankan. Di beberapa tempat tinggi tembok melebihi dua kali panjang tembok dan di bawah, selebar 2 langkah, dibuat bersayap-sayap, bersambungan sehingga menyerupai tangga. Melihat panjang tembok (30 km lebih), bisa diduga keberadaan kota tersebut terletak di kedua sisi Kalimas.
Istananya? Artus Geijsel melukiskan, istana terletak di daerah kota, kira-kira dekat sungai. Istana atau keraton dikelilingi tembok besar dan di dalamnya terdapat rumah-rumah, seperti keraton Jawa pada umumnya. Di depan gerbang terdapat alun-alun yang tumbuh pohon beringin indah terpangkas. Di bawah pohon ada bangku-bangku, tempat duduk. Pasarnya terletak di depan keraton. Bila kota bagian barat terbentang dari Rode Brug (Jembatan Merah) sampai Baluwarti, berarti alun-alun yang dulu disebut Stadstuin atau taman kota, terletak kurang lebih di bagian tengah. Sebelah selatan termasuk daerah sakral karena terdapat gang Keraton (dekat Kramat Gantung). Di situ juga terdapat sebuah kepatihan dan daerah Tambakbayan yang diperkirakan sebagai tempat tinggal Adipati Tambakbayan alias Sanjata.
Singkatnya, menurut catatan Faber, Surabaya pernah menjadi bagian dari wilayah kerajaan Demak (1483-1542), lalu selama kurang lebih 30 tahun di bawah kekuasaan Madura, kemudian di bawah kekuasaan Pajang (1570-1587). Selanjutnya Surabaya berada di bawah supremasi Mataram (1625-1743). Setelah itu (11 November 1743), Paku Buwono II dari kerajaan Mataram di Surakarta menyerahkan haknya atas seluruh pantai utara Pulau Jawa dan Madura kepada VOC, sebagai balas budi karena VOC telah banyak membantu hingga ia berhasil naik tahta Mataram.
Dengan diserahkannya pantai utara Jawa dan Madura kepada VOC, Belanda lalu mendirikan struktur pemerintahan baru dengan kedudukan gubernurnya di Semarang. Sedangkan di Surabaya diangkat seorang Gezaghebber in den Oosthock (penguasa bagian timur pulau Jawa). Penguasa VOC yang di Surabaya yang diangkat adalah Keyser (1746). Ia bertempat tinggal di sebuah bangunan yang diberi nama Rumah di Atas Bukit. Rumah ini merupakan bagian dari kompleks perbentengan pertama Belanda (Fort Rethancement) yang ada di Surabaya. Kompleks tersebut letaknya sekarang kurang lebih berada di daerah kantor Gubernur (Jl Pahlawan). Sebelah selatan benteng berdiri pemukiman keluarga tentara Belanda yang menjaga keamanan benteng tersebut. Kompleks ini merupakan pemukiman pertama orang Belanda di Surabaya.
Ketika masa Dirk van Hogendorp, penguasa VOC di Surabaya berikutnya, daerah pemukiman orang Belanda kemudian berkembang ke utara, yang pusatnya berada di sekitar Jembatan Merah dan Taman Jayengrono (Willemsplein). Kantor van Hogendorp terletak di depan Taman Jayengrono yang kemudian disebut City Hall. Sebagai kota benteng, kantor penguasa itu pun berfungsi sebagai pusat kota. Karena itu, daerah Jembatan Merah pada abad-abad selanjutnya merupakan pusat kota Surabaya masa lampau. Di samping itu ia juga meluaskan daerah pemukiman Belanda ke selatan sampai daerah Simpang (Jl Pemuda). Bahkan ia membuat sebuah Rumah Taman/kebun (Tuinhuis) yang indah di situ, dekat Kalimas dengan biaya tidak kurang 14.000 ringgit. Rumah kebun tersebut menjadi tempat kediamannya resmi, dan sekarang menjadi Wisma Grahadi. Pastinya, ia terus membangun tempat-tempat pemukiman dalam upaya untuk memperkuat pertahanan kota Surabaya menghadapi serangan dari bangsa Inggris.
Eropa Kecil
Perkembangan kota Surabaya dengan gaya kuno berubah menjadi kota gaya Eropa. Bahkan ketika Gubernur Jenderal Hirman Willem Daendles berkuasa (1805-1811) dan menetap di Surabaya, kota Surabaya diset up dan dibangun sebagai sebuah kota Eropa kecil. Daendles menjadikan kota Surabaya sebagai kota dagang sekaligus kota benteng. Surabaya mulai dihubungkan dengan Jalan Pos Besar (Grote Postweg) atau Jalan Daendies, yang menghubungkan kota-kota pantai utara pulau Jawa dari Anyer sampai Panarukan.
Sarana dan prasarana mulai dibangun dengan gaya Eropa. Rumah penguasa dinas (Tuinhuis, rumah kebun) yang terletak di Simpangstraat (Jl Pemuda) dirombak menjadi rumah mewah bak istana, dan dijadikan rumah dinasnya. Sebagai kota benteng, ia melengkapi Surabaya dengan pabrik senjata (Altellerie Constructie Winkel), dan sebuah benteng di mulut pulau Menarie (Fort Lodewijk), yang pada 1857 dimusnahkan. Ia juga mendirikan asrama militer lengkap dengan sebuah tangsi dan markas di Jotangan (Taman Sikatan), rumah sakit militer CBZ (Central Burgerlijke Ziekenhuis) di Simpangstraat, yang sekarang menjadi pusat belanja Surabaya Delta Plaza.
Surabaya kian hari makin sarat dengan kepentingan Belanda untuk pertahanan. Gubernur Jenderal van den Bosch (1830-1833) menjadikan Surabaya sebagai kota pertahanan untuk Jawa. Sebagai kota dagang yang sangat strategis dengan keadaan benteng-benteng kuno yang sering tidak berfungsi, seperti Fort Belvedere, Fort Kalimas, Fort Lodewijk dan Fort Oranje, akhirnya dibangunlah benteng-benteng di sekeliling kota Surabaya serta benteng Prins Hendrik di muara Kalimas, tepatnya di Citadelweg (Jl Benteng). Benteng ini diririkan (1837) dengan tebal tembok 3 meter, didalamnya bisa menampung 5000 tentara dan 70 ekor kuda altelleri (tahun 1960 benteng ini dibongkar).
Di bagian selatan benteng ini berdiri kota pemukiman orang-orang Eropa yang berkembang dengan pesat. Surabaya tumbuh sebagai kota pelabuhan yang penting, juga sebagai kota militer dan gudang makanan, dengan tembok melingkari daerah seluas lebih kurang 300 ha. Sebelah barat Jembatan Merah terletak tempat kediaman orang Belanda, terdiri dari City Hall (kantor residen Belanda), kantor pos, rumah toko, barak militer, bengkel, gereja dan rumah panti asuhan yatim piatu (Jongen Weezen Inrichting). Sebelah timur Kalimas yang dihubungkan oleh Jembatan Gantung (Jembatan Merah) terdapat daerah pemukiman orang asing lainnya, seperti Chinese Kamp, Arabische Kamp, dan Malaise Kamp (kampung Melayu). Sementara penduduk asli Surabaya kebanyakan bertempat tinggal di luar benteng.
Dari kota perbentengan (1870), Surabaya terus berkembang ke selatan menjadi kota modern. Meski planologi kota Surabaya berkembang secara tidak terencana, tetapi sarana prasarana serta utilitas kota, seperti jalan-jalan baru, jalan kereta api, pelabuhan dan sebagainya, mengalami perkembangan (1870-an sampai 1905). Kalau sebelumnya aktivitas di bidang sosial ekonomi dan politik berpusat di daerah Jembatan Merah, maka sejak 1870 daerah perumahan terus berkembang ke selatan sampai daerah Kayoon, yang merupakan daerah paling selatan kota Surabaya (sampai 1905).
Terjadilah pembangunan kota Surabaya model Barat, yang menghancurkan kawasan lama dan memaksa penduduk pribumi, terdiri dari orang Jawa, Madura dan Bugis, yang padat untuk pindah dan membangun kembali pemukimannya. Sementara di pusat kota dibangun perumahan gedung bagi orang Eropa, Cina dan orang Arab. Kota yang khas Asia Tenggara dengan bangunan kayu diselang-seling pepohonan dan aliran sungai, dirubah dengan struktur baru berupa jembatan-jembatan, kanal-kanal, jalan-jalan beraspal dan bangunan bertembok, di sepanjang jalan utama, seperti Jl Pasar Besar, Jl Tunjungan, Jl Kaliasin (Jl Basuki Rachmad), Jl Simpang (Jl Pemuda), Jl Embong Malang, Jl Kedungdoro dan Jl Blauran.
Di belakang gedung-gedung tembok dengan kawasan yang makin menciut inilah orang-orang pribumi Surabaya berusaha membangun kembali lingkungan asal mereka dan menyesuaikan diri dengan arus pendatang baru, berupa komunitas kampus. Pemandangan yang mencolok dengan dua komunitas berbeda, masyarakat kampung dan masyarakat elit.
Di bawah kekuasaan kolonial, Surabaya selain berkembang menjadi kota dagang dan industri, juga menjadi pangkalan utama Angkatan Laut Belanda di Indonesia. Diberlakukannya cultuurstelsel, pelabuhan Surabaya semakin berkembang, karena hasil bumi dari Jawa Timur diekspor melalui Surabaya. Pelabuhan Surabaya pun semakin dibenahi. Untuk pembangunan konstruksi Marine Establishment (ME atau PAL sekarang) di Ujung yang dijadikan instalasi militer, dipekerjakan ribuan tenaga kerja yang diambil dari daerah sekitarnya.
Kota Surabaya makin berkembang setelah pemerintah Kolonial membuat kebijakan politik perekonomian liberal, yang dikenal opendeur politiek (politik pintu terbuka). Indonesia dan Jawa Timur khususnya terbuka untuk penanaman modal swasta asing, yang tidak hanya dari Belanda tapi juga dari negara-negara maju lainnya, seperti Jerman, Perancis, Belgia, Italia, Inggris, Amerika dan Jepang. Di jaman liberal ini, kaum kapitalis swasta memainkan pengaruh yang sangat menentukan terhadap kebijakan penjajahan. Secara besar-besaran kaum kapitalis asing membangun perkebunan, pertambangan dan industri di Hindia Belanda dan Jatim khususnya, untuk menghasilkan bahan-bahan komoditi yang diekspor melalui pelabuhan Surabaya. Dalam tempo sepuluh tahun (1920-1930) beberapa pabrik besar dan perusahaan jasa lainnya didirikan di kota Surabaya.
Bahkan tahun-tahun sebelumnya, sebenarnya sudah berdiri pabrik-pabrik industri, seperti penggilingan/industri tebu (1853) yang didirikan oleh H Mac Gillavry di Keputran. Disusul kemudian orang-orang Cina mendirikan penggilingan tebu (1859) di Ketabang, Jagir, Karah dan Darmo. Pada tahun yang sama orang pribumi juga mendirikan penggilingan tebu di Gubeng, Bagong, Dadongan dan Patemon. Semua hasil penggilingan tebu tersebut harus dijual kepada pemerintah Belanda.
Setelah itu (1916), pemerintah kotamadya (Gemeente) Surabaya memutuskan, daerah Ngagel dijadikan sebagai zoning industrie. Banyak pabrik yang dulunya berlokasi di kota bawah (beneden stad, sekitar Jembatan Merah) pindah ke daerah baru ini. Selanjutnya, di kota Surabaya Selatan muncul pula perusahaan-perusahaan jasa, seperti Hotel Simpang (1868) di Jl Pemuda, Hotel Embong Malang (1872-1912) di Jl Embong Malang dan Oranje Hotel (1910) yang sekarang bernama Hotel Majapahit di Jl Tunjungan.
Permata yang Hilang
Menelusuri sejarah Surabaya melalui medium tapak-tapak bangunan bersejarah, baik dibangun pada masa kolonial maupun yang dibangun oleh Belanda, sungguh suatu wisata menarik tersendiri. Sayangnya, banyak bangunan bersejarah peninggalan kolonial sudah punah, sebagian berubah dari model aslinya, dan sebagian besar lagi terancam. Arus modernisasi dengan kekuatan ekonomi dan pembangunan sebagai panglima, telah menggerus satu persatu bangunan bersejarah di Surabaya. Sekarang tidak lagi bisa ditemui bangunan seperti Rumah Sakit Simpang (CBZ), markas KKO di Gubeng, markas Bung Tomo di Jl Biliton 7, Markas Polri Ambengan, Gedung PDAM Kaliasin, menara Stasiun Gubeng, Pasar Besar, Asrama Mahasiswa di Jl Blauran 57, atau Gedung Pelni di Jl Pahlawan 110 dan masih banyak yang lainnya.
Kalau bangunan bersejarah itu satu per satu lenyap, menurut Prof Aminuddin Kasdi, guru besar sejarah Indonesia Unesa, maka lenyaplah memori berbagai generasi terhadap perjalanan sejarah bangsanya. "Bahkan tidak mustahil pada suatu waktu kita akan menjadi bangsa yang menderita amnesia alias pikun kolektif, lupa akan jati diri, lupa akan peristiwa yang dialaminya sendiri."
Tak dapat dipungkiri, terbentuknya sebuah bangsa atau kota dengan kondisi yang sekarang adalah hasil rentetan panjang proses sejarah, baik yang menyenangkan maupun menyakitkan. Itu bisa dirunut dari bangunan-bangunan peninggalan Belanda yang tersebar hampir di seluruh kawasan Kota Lama Surabaya. Keberadaan bangunan-bangunan itu bukan semata-mata berdiri, tanpa nilai. Justru dari situ menyembul gambaran betapa angkuh dan sombongnya kekuasan Belanda, betapa licik strategi dan sistem pengamanannya selama perang, dan betapa banyak eksploitasi dilakukan terhadap rakyat pribumi Surabaya. "Putaran suka dan duka pada hakikatnya adalah esensi perjuangan," kata Kasdi.
Sungguh menyedihkan, sambung Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) itu, melihat nasib bangunan bersejarah di Surabaya. Bangunan-bangunan itu diruntuhkan atas nama modernisasi, pembangunan ekonomi dan stabilisasi politik nasional. Sementara rintihan, jeritan dan protes warga yang sadar dan jeli akan nasib kotanya dianggap sebagai angin lalu. Makin habisnya bangunan bersejarah, menurutnya, disebabkan oleh beberapa faktor, yang bagian terbesarnya adalah human error. Yakni pertama, para pelaku ekonomi, seperti investor, makelar, kontraktor, dan pejabat yang akan mendapatkan komisi. Kedua, pemilik-pengelola. Ketiga, aparat pemerintah yang tidak tanggap, dan keempat, mekanisme antarinstansi yang berwenang tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Gejala makin bertambahnya jumlah bangunan bersejarah yang lenyap atau rata dengan tanah, hemat Kasdi, sebenarnya telah dirasakan sejak tahun 1970-an. Ironisnya tidak satupun pihak yang bergerak mencegahnya. Malah kecenderungan yang terjadi, bangunan bersejarah itu dibongkar diam-diam sampai habis, baru kemudian memproses persyaratan yang diperlukan. Seperti pembongkaran terhadap Gedung Pelni, menara Stasiun Gubeng, Gedung Jl Blauran 57, dan pembangunan jalur viaduct Gubeng. Setelah bangunan musnah, baru berteriak-teriak.
Seni Arsitektur
Pentingnya bangunan bersejarah bagi sebuah kota, tidak hanya dari aspek sejarah tapi juga bagi ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan arsitektur. Konon, corak arstitektur bangunan peninggalan kolonial di Surabaya atau di kota lain di Indonesia memiliki keunikan yang tidak bisa ditemui di negeri lain, bahkan di Belanda sendiri. Menurut Timoticin Kwanda, Ketua Jurusan Artistektur Universitas Kristen Petra, langgam arsitektur yang mewarnai corak bangunan sejak abad XIX dan awal abad XX sangat beragam, dipengaruhi perkembangan arsitektur di Belanda, seperti Neo-Gotik, Neo-Renaissance, Neo-Klasik, Nieuwe Kunst (Art Nouveau versi Belanda), Amsterdam School, dan De Stijl, yang berpengaruh pada aliran arsitektur Kolonial di Surabaya.
Pengaruh itu juga bisa dilihat dari dominasi arsitek-arsitek Belanda dalam kancah perancangan arsitektur kolonial. Misalnya, arsitek Ed Cuypers di Batavia, T Karsten di Semarang, Albers dan Wolf Schoemaker di Bandung, serta C Citroen di Surabaya. Keunikan yang membedakan dengan arsitektur di tempat lain, karena arsitektur bangunan yang ada di Indonesia, disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya dan iklim setempat. Karena itu, "Baik bangunan umum maupun bangunan rumah tinggal peninggalan kolonial, arsitekturnya lebih sesuai dengan kondisi iklim di Indonesia daripada bangunan berarsitektur modern sekarang," tuturnya.
Setiap kota di dunia, sambungnya, memiliki keunikan yang akan selalu dikenang orang. Inilah jiwa kota yang membedakan kota yang satu dengan kota yang lain. Arsitektur modern yang rasionalis dan minimalis telah gagal memberi karakter pada kota dengan bangunan yang memiliki penampilan yang seragam.
Berdasar penelitian yang dilakukan pada 1989, Timoticin menginventarisasi bangunan bersejarah di Surabaya sejumlah 80 bangunan. Antara lain, 22 bangunan bernilai sejarah perjuangan 10 Nopember 1945, 45 bangunan bernilai sejarah arsitektur kolonial, 13 bangunan bernilai sejarah kepahlawan maupun sejarah arsitektur kolonial, dan 26 bangunan bernilai sejarah perkembangan Kota Surabaya, apakah itu sejarah suatu kejadian maupun sejarah yang berhubungan dengan seseorang.
Minimnya dana juga diakui Timoticin sebagai kendala, sehingga penelitian tidak bisa dilakukan secara massal dan general. Berbagai penelitian mengenai Surabaya, di luar kelembagaan Pemerintah Kota, banyak dilakukan perorangan, sehingga hasil akhir yang dicapai tidak maksimal atau tidak menjangkau seluruh variabel yang diperlukan dalam penelitian. Ditambah lagi, tidak kooperatifnya pemilik atau pengelola gedung yang layak teliti menjadi kendala lain.
Terpaksa, ia yang kini tengah melakukan penelitian terhadap bangunan atau rumah-rumah tinggal peninggalan kolonial dengan nilai arsitektur tinggi di berbagai kawasan Kota Surabaya, dilakukannya sendiri dengan melibatkan mahasiswa.
Pelestarian
Perkembangan kota metropolitan seperti Surabaya tentu tak harus dicegah, tapi bukan berarti tak perlu dikendalikan. Pertumbuah ekonomi dan investasi yang masuk ke kota ini sangat membanggakan. Hanya saja, bila pertumbuhan dan perkembangan ini lantas menggerus kekayaan dan jati diri kota, seperti bangunan atau kawasan (situs) bersejarah, lambat laun kota Surabaya akan tumbuh menjadi kota yang liar, terobsesi memburu modernitas, tapi miskin akan nilai. Oleh karena itu, kini kota Surabaya memerlukan pemerintah, pelaku bisnis, investor atau warga kota yang peduli akan nasib kota mendatang.
Diantara bangunan-bangunan yang sudah musnah, masih banyak bangunan bersejarah lainnya di kota Surabaya yang perlu mendapat perhatian, sekaligus upaya serius untuk menjaga agar tetap lestari. Upaya pelestarian bangunan bersejarah di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama menjadi isu dari perencanaan kota. Pada jaman kolonial, Hindia Belanda bahkan memiliki perangkat perlindungan terhadap bangunan dan kawasan tua (Monumenten Ordonantie, 238/1931). Jakarta dengan kawasan tua dan Sunda Kelapa sudah memulai kegiatan pelestarian pada awal 1970-an, sepuluh tahun lebih awal dari sebelum negara jiran Singapura memulai memperhatikan masalah pelestarian bangunan tua.
Usaha pemerintah semakin serius dengan dikeluarkannya UU No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya, yang substansinya banyak mencerap dari Ordonantie Monumenten (1931). Semenjak saat itu, keadaan menjadi berbalik. Kalau kota Jakarta menjadi pemicu kegiatan pelestarian bagi kota-kota besar lainnya di Indonesia, Singapura yang sempat kehilangan daerah pecinan mulai berbenah diri pada pertengahan 1980-an untuk menyelamatkan sisa-sisa bangunan bersejarah. Kini kegiatan konservasi bangunan selain menduduki posisi yang sangat vital dalam kebijakan pembangunan negara kota Singapura, juga telah memberikan kontribusi yang besar dalam kegiatan pelestarian pariwisata budaya.
Bagaimana dengan pelestarian di kota-kota lain di Indonesia? Timoticin menceritakan, kota Bandung pernah disebut sebagai sebuah 'laboratorium arsitektur' yang luar biasa pada awal abad ke-20. Hal itu bisa dipahami mengingat pada jaman itu, Bandung tengah dipersiapkan sebagai calon pusat pemerintahan kolonial di Hindia Belanda. Ketika itu Bandung tidak saja dilengkapi oleh berbagai infrastruktur kota, namun penataan ruang kotanya pun direncanakan dan dirancang dengan baik. "Namun toh Bandung tak mampu mempertahankan laju modernisasi pembangunan kota, yang menggusur bangunan tua bersejarah menjadi pusat-pusat bisnis, seperti mal dan lain-lain," sergahnya.
Fenomena seperti ini juga terjadi di hampir seluruh kota-kota besar lain di Indonesia, termasuk Semarang dan Medan. Hanya saja, menurut cerita Kasdi, Semarang lebih untung karena memiliki seorang profesor yang juga Rektor Undip, yang memiliki kepedulian amat besar, sehingga bangunan-bangunan bersejarah peninggalan kolonial di kota ini bisa diselamatkan.
Sementara Surabaya tertatih-tatih mempertahankan kekayaan kota berupa bangunan bersejarah peninggalan kolonial. Seperti diketahui, setelah diundangkannya UU No. 5/1992, Surabaya sudah mulai melakukan serangkaian kegiatan. Mulai seminar, penelitian, pemberian penghargaan hingga penentuan bangunan atau kawasan (situs) yang masuk Benda Cagar Budaya yang harus dilestarikan. Berdasarkan SK Walikota Surabaya tahun 1996 dan 1998, setidaknya tercatat 163 benda cagar budaya. Padahal, bila ditelusuri bangunan yang layak dilestarikan sebagai benda cagar budaya jumlahnya jauh lebih banyak. Namun, hingga kini tidak ada penambahan yang berarti.
Upaya pelestarian, sebagaimana dilakukan Pemerintah kota Surabaya yang sedang menggodok Peraturan Daerah (Perda) tentang Cagar Budaya melengkapi SK Walikota sebelumnya, agar didapat dasar hukum yang kuat menyangkut sanksi bagi pelanggar dan kompensasi bagi pengelola, tak akan mampu berjalan dengan baik bila tak ada kesepahaman dan langkah bersama antara pemerintah, masyarakat-pengelola, pelaku bisnis-investor, mengenai arti penting bangunan atau kawasan peninggalan kolonial bagi kekayaan atau aset kota, baik aspek kesejarahan atau seni arsitektur bernilai tinggi, sebagai jati diri kota dan bangsa. -hm
Sekurang-kurangnya, sejarah Surabaya masuk percaturan dunia secara pasti sudah dimulai sejak awal pertumbuhan Majapahit. Ketika kota pelabuhan niaga Hujunggaluh (abad X) diganti namanya menjadi Curabhaya oleh raja Majapahit Kertarajasa Jayawardhana atau Raden Wijaya, pada 31 Mei 1293. Perubahan itu untuk menandai kemenangan pasukan R Wijaya yang dibantu oleh penduduk Hujunggaluh atas pasukan Tartar (Mongol dari Cina). Peristiwa heroik ini sekaligus dimitoskan dan dilambangkan sebagai pertempuran ikan Sura dan Baya (Surabaya).
Hingga abad XV, konon ketika Mahuan, ulama Islam dari Cina, datang berkunjung ke keraton Majapahit (1413) mencatat perkembangan kota Surabaya sejajar dengan kota-kota tetangga, seperti Gresik, Tuban dan ibu kota Majapahit. Keempat kota ini tak berbatas tembok, dan Surabaya dihuni oleh sekitar seribu orang keluarga, termasuk orang-orang Cina yang rata-rata orang kaya. Bila setiap keluarga terdiri dari empat atau lima orang, berarti Surabaya waktu itu berpenduduk sekitar empat ribu atau lima ribu orang. Artinya, Surabaya sudah memenuhi standar minimal sebuah kota yang ditetapkan harus berpenduduk 2000-3000 orang. Sejak itu pula Surabaya berkembang menjadi kota pelabuhan.
Keberadaan Surabaya sebagai kota pelabuhan makin penting dalam perdagangan rempah-rempah di Jawa Timur (XVII). Terbukti ketika Hendrik Brouwer, seorang Belanda, datang mengunjungi pantai Surabaya (1612) ia menjumpai banyak pedagang Portugis sedang membeli rempah-rempah dari penduduk pribumi. Pedagang pribumi sendiri membeli rempah-rempah secara sembunyi-sembunyi dari kepulauan Banda, karena sebelumnya ada persetujuan dengan VOC bahwa orang-orang Banda dilarang berdagang untuk kepentingan sendiri.
Sedemikian pentingnya pelabuhan Surabaya di mata para pedagang Belanda, sehingga Jan Pieterzon Coen mendirikan sebuah loji (1617) di Surabaya, sebuah tempat untuk mengadakan hubungan dagang dengan para pedagang di sekitarnya. Sayang, tak ada catatan yang valid menunjukkan di mana letak loji tersebut berada. Yang pasti, Surabaya waktu itu telah menjadi bandar yang sangat penting di wilayah Timur. Gambaran kota Surabaya waktu itu menurut GH Von Faber, Surabayanis asal Belanda yang mencatat sejarah Surabaya dalam Oud Soerabaia, Nieuw Soerabaia, sebagai kota yang mempunyai luas dengan garis tengah 5 mil, sebagian dibatasi dengan tembok, sebagian oleh sungai yang bersih mengalir di bawahnya dan di tepi sungai terdapat meriam. Sebuah sungai yang besar (Kalimas) mengalir melalui kota ini, ada juga beberapa pintu air. Setiap pintu gerbang menuju kota ada 15 sampai 20 orang penjaga dan beberapa orang pemungut cukai yang memungut 10 persen dari jumlah pemasukan.
Deskripsi yang sama pernah diungkapkan Artus Geijsel (1620-an), bahwa lingkaran kota adalah 5 mil. Sebagai pertahanan separoh kota dikelilingi tembok dan separuhnya lagi oleh baliwerti (onggokan tanah). Selain itu seluruhnya dikelilingi parit indah. Diantara tembok dan parit berdiri tanggul yang kuat. Pada setiap jarak tembakan meriam terdapat benteng kecil yang berbentuk bujur sangkar. Setiap benteng ada 10 sampai 12 meriam, sehingga mudah dipertahankan. Di beberapa tempat tinggi tembok melebihi dua kali panjang tembok dan di bawah, selebar 2 langkah, dibuat bersayap-sayap, bersambungan sehingga menyerupai tangga. Melihat panjang tembok (30 km lebih), bisa diduga keberadaan kota tersebut terletak di kedua sisi Kalimas.
Istananya? Artus Geijsel melukiskan, istana terletak di daerah kota, kira-kira dekat sungai. Istana atau keraton dikelilingi tembok besar dan di dalamnya terdapat rumah-rumah, seperti keraton Jawa pada umumnya. Di depan gerbang terdapat alun-alun yang tumbuh pohon beringin indah terpangkas. Di bawah pohon ada bangku-bangku, tempat duduk. Pasarnya terletak di depan keraton. Bila kota bagian barat terbentang dari Rode Brug (Jembatan Merah) sampai Baluwarti, berarti alun-alun yang dulu disebut Stadstuin atau taman kota, terletak kurang lebih di bagian tengah. Sebelah selatan termasuk daerah sakral karena terdapat gang Keraton (dekat Kramat Gantung). Di situ juga terdapat sebuah kepatihan dan daerah Tambakbayan yang diperkirakan sebagai tempat tinggal Adipati Tambakbayan alias Sanjata.
Singkatnya, menurut catatan Faber, Surabaya pernah menjadi bagian dari wilayah kerajaan Demak (1483-1542), lalu selama kurang lebih 30 tahun di bawah kekuasaan Madura, kemudian di bawah kekuasaan Pajang (1570-1587). Selanjutnya Surabaya berada di bawah supremasi Mataram (1625-1743). Setelah itu (11 November 1743), Paku Buwono II dari kerajaan Mataram di Surakarta menyerahkan haknya atas seluruh pantai utara Pulau Jawa dan Madura kepada VOC, sebagai balas budi karena VOC telah banyak membantu hingga ia berhasil naik tahta Mataram.
Dengan diserahkannya pantai utara Jawa dan Madura kepada VOC, Belanda lalu mendirikan struktur pemerintahan baru dengan kedudukan gubernurnya di Semarang. Sedangkan di Surabaya diangkat seorang Gezaghebber in den Oosthock (penguasa bagian timur pulau Jawa). Penguasa VOC yang di Surabaya yang diangkat adalah Keyser (1746). Ia bertempat tinggal di sebuah bangunan yang diberi nama Rumah di Atas Bukit. Rumah ini merupakan bagian dari kompleks perbentengan pertama Belanda (Fort Rethancement) yang ada di Surabaya. Kompleks tersebut letaknya sekarang kurang lebih berada di daerah kantor Gubernur (Jl Pahlawan). Sebelah selatan benteng berdiri pemukiman keluarga tentara Belanda yang menjaga keamanan benteng tersebut. Kompleks ini merupakan pemukiman pertama orang Belanda di Surabaya.
Ketika masa Dirk van Hogendorp, penguasa VOC di Surabaya berikutnya, daerah pemukiman orang Belanda kemudian berkembang ke utara, yang pusatnya berada di sekitar Jembatan Merah dan Taman Jayengrono (Willemsplein). Kantor van Hogendorp terletak di depan Taman Jayengrono yang kemudian disebut City Hall. Sebagai kota benteng, kantor penguasa itu pun berfungsi sebagai pusat kota. Karena itu, daerah Jembatan Merah pada abad-abad selanjutnya merupakan pusat kota Surabaya masa lampau. Di samping itu ia juga meluaskan daerah pemukiman Belanda ke selatan sampai daerah Simpang (Jl Pemuda). Bahkan ia membuat sebuah Rumah Taman/kebun (Tuinhuis) yang indah di situ, dekat Kalimas dengan biaya tidak kurang 14.000 ringgit. Rumah kebun tersebut menjadi tempat kediamannya resmi, dan sekarang menjadi Wisma Grahadi. Pastinya, ia terus membangun tempat-tempat pemukiman dalam upaya untuk memperkuat pertahanan kota Surabaya menghadapi serangan dari bangsa Inggris.
Eropa Kecil
Perkembangan kota Surabaya dengan gaya kuno berubah menjadi kota gaya Eropa. Bahkan ketika Gubernur Jenderal Hirman Willem Daendles berkuasa (1805-1811) dan menetap di Surabaya, kota Surabaya diset up dan dibangun sebagai sebuah kota Eropa kecil. Daendles menjadikan kota Surabaya sebagai kota dagang sekaligus kota benteng. Surabaya mulai dihubungkan dengan Jalan Pos Besar (Grote Postweg) atau Jalan Daendies, yang menghubungkan kota-kota pantai utara pulau Jawa dari Anyer sampai Panarukan.
Sarana dan prasarana mulai dibangun dengan gaya Eropa. Rumah penguasa dinas (Tuinhuis, rumah kebun) yang terletak di Simpangstraat (Jl Pemuda) dirombak menjadi rumah mewah bak istana, dan dijadikan rumah dinasnya. Sebagai kota benteng, ia melengkapi Surabaya dengan pabrik senjata (Altellerie Constructie Winkel), dan sebuah benteng di mulut pulau Menarie (Fort Lodewijk), yang pada 1857 dimusnahkan. Ia juga mendirikan asrama militer lengkap dengan sebuah tangsi dan markas di Jotangan (Taman Sikatan), rumah sakit militer CBZ (Central Burgerlijke Ziekenhuis) di Simpangstraat, yang sekarang menjadi pusat belanja Surabaya Delta Plaza.
Surabaya kian hari makin sarat dengan kepentingan Belanda untuk pertahanan. Gubernur Jenderal van den Bosch (1830-1833) menjadikan Surabaya sebagai kota pertahanan untuk Jawa. Sebagai kota dagang yang sangat strategis dengan keadaan benteng-benteng kuno yang sering tidak berfungsi, seperti Fort Belvedere, Fort Kalimas, Fort Lodewijk dan Fort Oranje, akhirnya dibangunlah benteng-benteng di sekeliling kota Surabaya serta benteng Prins Hendrik di muara Kalimas, tepatnya di Citadelweg (Jl Benteng). Benteng ini diririkan (1837) dengan tebal tembok 3 meter, didalamnya bisa menampung 5000 tentara dan 70 ekor kuda altelleri (tahun 1960 benteng ini dibongkar).
Di bagian selatan benteng ini berdiri kota pemukiman orang-orang Eropa yang berkembang dengan pesat. Surabaya tumbuh sebagai kota pelabuhan yang penting, juga sebagai kota militer dan gudang makanan, dengan tembok melingkari daerah seluas lebih kurang 300 ha. Sebelah barat Jembatan Merah terletak tempat kediaman orang Belanda, terdiri dari City Hall (kantor residen Belanda), kantor pos, rumah toko, barak militer, bengkel, gereja dan rumah panti asuhan yatim piatu (Jongen Weezen Inrichting). Sebelah timur Kalimas yang dihubungkan oleh Jembatan Gantung (Jembatan Merah) terdapat daerah pemukiman orang asing lainnya, seperti Chinese Kamp, Arabische Kamp, dan Malaise Kamp (kampung Melayu). Sementara penduduk asli Surabaya kebanyakan bertempat tinggal di luar benteng.
Dari kota perbentengan (1870), Surabaya terus berkembang ke selatan menjadi kota modern. Meski planologi kota Surabaya berkembang secara tidak terencana, tetapi sarana prasarana serta utilitas kota, seperti jalan-jalan baru, jalan kereta api, pelabuhan dan sebagainya, mengalami perkembangan (1870-an sampai 1905). Kalau sebelumnya aktivitas di bidang sosial ekonomi dan politik berpusat di daerah Jembatan Merah, maka sejak 1870 daerah perumahan terus berkembang ke selatan sampai daerah Kayoon, yang merupakan daerah paling selatan kota Surabaya (sampai 1905).
Terjadilah pembangunan kota Surabaya model Barat, yang menghancurkan kawasan lama dan memaksa penduduk pribumi, terdiri dari orang Jawa, Madura dan Bugis, yang padat untuk pindah dan membangun kembali pemukimannya. Sementara di pusat kota dibangun perumahan gedung bagi orang Eropa, Cina dan orang Arab. Kota yang khas Asia Tenggara dengan bangunan kayu diselang-seling pepohonan dan aliran sungai, dirubah dengan struktur baru berupa jembatan-jembatan, kanal-kanal, jalan-jalan beraspal dan bangunan bertembok, di sepanjang jalan utama, seperti Jl Pasar Besar, Jl Tunjungan, Jl Kaliasin (Jl Basuki Rachmad), Jl Simpang (Jl Pemuda), Jl Embong Malang, Jl Kedungdoro dan Jl Blauran.
Di belakang gedung-gedung tembok dengan kawasan yang makin menciut inilah orang-orang pribumi Surabaya berusaha membangun kembali lingkungan asal mereka dan menyesuaikan diri dengan arus pendatang baru, berupa komunitas kampus. Pemandangan yang mencolok dengan dua komunitas berbeda, masyarakat kampung dan masyarakat elit.
Di bawah kekuasaan kolonial, Surabaya selain berkembang menjadi kota dagang dan industri, juga menjadi pangkalan utama Angkatan Laut Belanda di Indonesia. Diberlakukannya cultuurstelsel, pelabuhan Surabaya semakin berkembang, karena hasil bumi dari Jawa Timur diekspor melalui Surabaya. Pelabuhan Surabaya pun semakin dibenahi. Untuk pembangunan konstruksi Marine Establishment (ME atau PAL sekarang) di Ujung yang dijadikan instalasi militer, dipekerjakan ribuan tenaga kerja yang diambil dari daerah sekitarnya.
Kota Surabaya makin berkembang setelah pemerintah Kolonial membuat kebijakan politik perekonomian liberal, yang dikenal opendeur politiek (politik pintu terbuka). Indonesia dan Jawa Timur khususnya terbuka untuk penanaman modal swasta asing, yang tidak hanya dari Belanda tapi juga dari negara-negara maju lainnya, seperti Jerman, Perancis, Belgia, Italia, Inggris, Amerika dan Jepang. Di jaman liberal ini, kaum kapitalis swasta memainkan pengaruh yang sangat menentukan terhadap kebijakan penjajahan. Secara besar-besaran kaum kapitalis asing membangun perkebunan, pertambangan dan industri di Hindia Belanda dan Jatim khususnya, untuk menghasilkan bahan-bahan komoditi yang diekspor melalui pelabuhan Surabaya. Dalam tempo sepuluh tahun (1920-1930) beberapa pabrik besar dan perusahaan jasa lainnya didirikan di kota Surabaya.
Bahkan tahun-tahun sebelumnya, sebenarnya sudah berdiri pabrik-pabrik industri, seperti penggilingan/industri tebu (1853) yang didirikan oleh H Mac Gillavry di Keputran. Disusul kemudian orang-orang Cina mendirikan penggilingan tebu (1859) di Ketabang, Jagir, Karah dan Darmo. Pada tahun yang sama orang pribumi juga mendirikan penggilingan tebu di Gubeng, Bagong, Dadongan dan Patemon. Semua hasil penggilingan tebu tersebut harus dijual kepada pemerintah Belanda.
Setelah itu (1916), pemerintah kotamadya (Gemeente) Surabaya memutuskan, daerah Ngagel dijadikan sebagai zoning industrie. Banyak pabrik yang dulunya berlokasi di kota bawah (beneden stad, sekitar Jembatan Merah) pindah ke daerah baru ini. Selanjutnya, di kota Surabaya Selatan muncul pula perusahaan-perusahaan jasa, seperti Hotel Simpang (1868) di Jl Pemuda, Hotel Embong Malang (1872-1912) di Jl Embong Malang dan Oranje Hotel (1910) yang sekarang bernama Hotel Majapahit di Jl Tunjungan.
Permata yang Hilang
Menelusuri sejarah Surabaya melalui medium tapak-tapak bangunan bersejarah, baik dibangun pada masa kolonial maupun yang dibangun oleh Belanda, sungguh suatu wisata menarik tersendiri. Sayangnya, banyak bangunan bersejarah peninggalan kolonial sudah punah, sebagian berubah dari model aslinya, dan sebagian besar lagi terancam. Arus modernisasi dengan kekuatan ekonomi dan pembangunan sebagai panglima, telah menggerus satu persatu bangunan bersejarah di Surabaya. Sekarang tidak lagi bisa ditemui bangunan seperti Rumah Sakit Simpang (CBZ), markas KKO di Gubeng, markas Bung Tomo di Jl Biliton 7, Markas Polri Ambengan, Gedung PDAM Kaliasin, menara Stasiun Gubeng, Pasar Besar, Asrama Mahasiswa di Jl Blauran 57, atau Gedung Pelni di Jl Pahlawan 110 dan masih banyak yang lainnya.
Kalau bangunan bersejarah itu satu per satu lenyap, menurut Prof Aminuddin Kasdi, guru besar sejarah Indonesia Unesa, maka lenyaplah memori berbagai generasi terhadap perjalanan sejarah bangsanya. "Bahkan tidak mustahil pada suatu waktu kita akan menjadi bangsa yang menderita amnesia alias pikun kolektif, lupa akan jati diri, lupa akan peristiwa yang dialaminya sendiri."
Tak dapat dipungkiri, terbentuknya sebuah bangsa atau kota dengan kondisi yang sekarang adalah hasil rentetan panjang proses sejarah, baik yang menyenangkan maupun menyakitkan. Itu bisa dirunut dari bangunan-bangunan peninggalan Belanda yang tersebar hampir di seluruh kawasan Kota Lama Surabaya. Keberadaan bangunan-bangunan itu bukan semata-mata berdiri, tanpa nilai. Justru dari situ menyembul gambaran betapa angkuh dan sombongnya kekuasan Belanda, betapa licik strategi dan sistem pengamanannya selama perang, dan betapa banyak eksploitasi dilakukan terhadap rakyat pribumi Surabaya. "Putaran suka dan duka pada hakikatnya adalah esensi perjuangan," kata Kasdi.
Sungguh menyedihkan, sambung Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) itu, melihat nasib bangunan bersejarah di Surabaya. Bangunan-bangunan itu diruntuhkan atas nama modernisasi, pembangunan ekonomi dan stabilisasi politik nasional. Sementara rintihan, jeritan dan protes warga yang sadar dan jeli akan nasib kotanya dianggap sebagai angin lalu. Makin habisnya bangunan bersejarah, menurutnya, disebabkan oleh beberapa faktor, yang bagian terbesarnya adalah human error. Yakni pertama, para pelaku ekonomi, seperti investor, makelar, kontraktor, dan pejabat yang akan mendapatkan komisi. Kedua, pemilik-pengelola. Ketiga, aparat pemerintah yang tidak tanggap, dan keempat, mekanisme antarinstansi yang berwenang tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Gejala makin bertambahnya jumlah bangunan bersejarah yang lenyap atau rata dengan tanah, hemat Kasdi, sebenarnya telah dirasakan sejak tahun 1970-an. Ironisnya tidak satupun pihak yang bergerak mencegahnya. Malah kecenderungan yang terjadi, bangunan bersejarah itu dibongkar diam-diam sampai habis, baru kemudian memproses persyaratan yang diperlukan. Seperti pembongkaran terhadap Gedung Pelni, menara Stasiun Gubeng, Gedung Jl Blauran 57, dan pembangunan jalur viaduct Gubeng. Setelah bangunan musnah, baru berteriak-teriak.
Seni Arsitektur
Pentingnya bangunan bersejarah bagi sebuah kota, tidak hanya dari aspek sejarah tapi juga bagi ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan arsitektur. Konon, corak arstitektur bangunan peninggalan kolonial di Surabaya atau di kota lain di Indonesia memiliki keunikan yang tidak bisa ditemui di negeri lain, bahkan di Belanda sendiri. Menurut Timoticin Kwanda, Ketua Jurusan Artistektur Universitas Kristen Petra, langgam arsitektur yang mewarnai corak bangunan sejak abad XIX dan awal abad XX sangat beragam, dipengaruhi perkembangan arsitektur di Belanda, seperti Neo-Gotik, Neo-Renaissance, Neo-Klasik, Nieuwe Kunst (Art Nouveau versi Belanda), Amsterdam School, dan De Stijl, yang berpengaruh pada aliran arsitektur Kolonial di Surabaya.
Pengaruh itu juga bisa dilihat dari dominasi arsitek-arsitek Belanda dalam kancah perancangan arsitektur kolonial. Misalnya, arsitek Ed Cuypers di Batavia, T Karsten di Semarang, Albers dan Wolf Schoemaker di Bandung, serta C Citroen di Surabaya. Keunikan yang membedakan dengan arsitektur di tempat lain, karena arsitektur bangunan yang ada di Indonesia, disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya dan iklim setempat. Karena itu, "Baik bangunan umum maupun bangunan rumah tinggal peninggalan kolonial, arsitekturnya lebih sesuai dengan kondisi iklim di Indonesia daripada bangunan berarsitektur modern sekarang," tuturnya.
Setiap kota di dunia, sambungnya, memiliki keunikan yang akan selalu dikenang orang. Inilah jiwa kota yang membedakan kota yang satu dengan kota yang lain. Arsitektur modern yang rasionalis dan minimalis telah gagal memberi karakter pada kota dengan bangunan yang memiliki penampilan yang seragam.
Berdasar penelitian yang dilakukan pada 1989, Timoticin menginventarisasi bangunan bersejarah di Surabaya sejumlah 80 bangunan. Antara lain, 22 bangunan bernilai sejarah perjuangan 10 Nopember 1945, 45 bangunan bernilai sejarah arsitektur kolonial, 13 bangunan bernilai sejarah kepahlawan maupun sejarah arsitektur kolonial, dan 26 bangunan bernilai sejarah perkembangan Kota Surabaya, apakah itu sejarah suatu kejadian maupun sejarah yang berhubungan dengan seseorang.
Minimnya dana juga diakui Timoticin sebagai kendala, sehingga penelitian tidak bisa dilakukan secara massal dan general. Berbagai penelitian mengenai Surabaya, di luar kelembagaan Pemerintah Kota, banyak dilakukan perorangan, sehingga hasil akhir yang dicapai tidak maksimal atau tidak menjangkau seluruh variabel yang diperlukan dalam penelitian. Ditambah lagi, tidak kooperatifnya pemilik atau pengelola gedung yang layak teliti menjadi kendala lain.
Terpaksa, ia yang kini tengah melakukan penelitian terhadap bangunan atau rumah-rumah tinggal peninggalan kolonial dengan nilai arsitektur tinggi di berbagai kawasan Kota Surabaya, dilakukannya sendiri dengan melibatkan mahasiswa.
Pelestarian
Perkembangan kota metropolitan seperti Surabaya tentu tak harus dicegah, tapi bukan berarti tak perlu dikendalikan. Pertumbuah ekonomi dan investasi yang masuk ke kota ini sangat membanggakan. Hanya saja, bila pertumbuhan dan perkembangan ini lantas menggerus kekayaan dan jati diri kota, seperti bangunan atau kawasan (situs) bersejarah, lambat laun kota Surabaya akan tumbuh menjadi kota yang liar, terobsesi memburu modernitas, tapi miskin akan nilai. Oleh karena itu, kini kota Surabaya memerlukan pemerintah, pelaku bisnis, investor atau warga kota yang peduli akan nasib kota mendatang.
Diantara bangunan-bangunan yang sudah musnah, masih banyak bangunan bersejarah lainnya di kota Surabaya yang perlu mendapat perhatian, sekaligus upaya serius untuk menjaga agar tetap lestari. Upaya pelestarian bangunan bersejarah di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama menjadi isu dari perencanaan kota. Pada jaman kolonial, Hindia Belanda bahkan memiliki perangkat perlindungan terhadap bangunan dan kawasan tua (Monumenten Ordonantie, 238/1931). Jakarta dengan kawasan tua dan Sunda Kelapa sudah memulai kegiatan pelestarian pada awal 1970-an, sepuluh tahun lebih awal dari sebelum negara jiran Singapura memulai memperhatikan masalah pelestarian bangunan tua.
Usaha pemerintah semakin serius dengan dikeluarkannya UU No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya, yang substansinya banyak mencerap dari Ordonantie Monumenten (1931). Semenjak saat itu, keadaan menjadi berbalik. Kalau kota Jakarta menjadi pemicu kegiatan pelestarian bagi kota-kota besar lainnya di Indonesia, Singapura yang sempat kehilangan daerah pecinan mulai berbenah diri pada pertengahan 1980-an untuk menyelamatkan sisa-sisa bangunan bersejarah. Kini kegiatan konservasi bangunan selain menduduki posisi yang sangat vital dalam kebijakan pembangunan negara kota Singapura, juga telah memberikan kontribusi yang besar dalam kegiatan pelestarian pariwisata budaya.
Bagaimana dengan pelestarian di kota-kota lain di Indonesia? Timoticin menceritakan, kota Bandung pernah disebut sebagai sebuah 'laboratorium arsitektur' yang luar biasa pada awal abad ke-20. Hal itu bisa dipahami mengingat pada jaman itu, Bandung tengah dipersiapkan sebagai calon pusat pemerintahan kolonial di Hindia Belanda. Ketika itu Bandung tidak saja dilengkapi oleh berbagai infrastruktur kota, namun penataan ruang kotanya pun direncanakan dan dirancang dengan baik. "Namun toh Bandung tak mampu mempertahankan laju modernisasi pembangunan kota, yang menggusur bangunan tua bersejarah menjadi pusat-pusat bisnis, seperti mal dan lain-lain," sergahnya.
Fenomena seperti ini juga terjadi di hampir seluruh kota-kota besar lain di Indonesia, termasuk Semarang dan Medan. Hanya saja, menurut cerita Kasdi, Semarang lebih untung karena memiliki seorang profesor yang juga Rektor Undip, yang memiliki kepedulian amat besar, sehingga bangunan-bangunan bersejarah peninggalan kolonial di kota ini bisa diselamatkan.
Sementara Surabaya tertatih-tatih mempertahankan kekayaan kota berupa bangunan bersejarah peninggalan kolonial. Seperti diketahui, setelah diundangkannya UU No. 5/1992, Surabaya sudah mulai melakukan serangkaian kegiatan. Mulai seminar, penelitian, pemberian penghargaan hingga penentuan bangunan atau kawasan (situs) yang masuk Benda Cagar Budaya yang harus dilestarikan. Berdasarkan SK Walikota Surabaya tahun 1996 dan 1998, setidaknya tercatat 163 benda cagar budaya. Padahal, bila ditelusuri bangunan yang layak dilestarikan sebagai benda cagar budaya jumlahnya jauh lebih banyak. Namun, hingga kini tidak ada penambahan yang berarti.
Upaya pelestarian, sebagaimana dilakukan Pemerintah kota Surabaya yang sedang menggodok Peraturan Daerah (Perda) tentang Cagar Budaya melengkapi SK Walikota sebelumnya, agar didapat dasar hukum yang kuat menyangkut sanksi bagi pelanggar dan kompensasi bagi pengelola, tak akan mampu berjalan dengan baik bila tak ada kesepahaman dan langkah bersama antara pemerintah, masyarakat-pengelola, pelaku bisnis-investor, mengenai arti penting bangunan atau kawasan peninggalan kolonial bagi kekayaan atau aset kota, baik aspek kesejarahan atau seni arsitektur bernilai tinggi, sebagai jati diri kota dan bangsa. -hm
Lihat tulisan terkait:
Kemegahan Dibalik Dangkalnya Potensi Wisata...
Mimpi Deandels di Rumah Sakit Simpang...
Drama Penyobekan Bendera di Hotel Yamato...
Gerlora Pers Perjuangan di Gedung Pelni...
1 komentar:
BERITA BAIK!!! BERITA BAIK!!! BERITA BAIK!!!
Nama saya fatma Saya ingin menggunakan medium ini untuk memberi tahu semua pencari pinjaman supaya berhati-hati, kerana terdapat penipuan di mana-mana, mereka akan menghantar dokumen perjanjian palsu untuk anda dan mereka akan mengatakan tidak ada bayaran pendahuluan, tetapi mereka adalah orang yang suka bermain, kerana mereka kemudian akan meminta bayaran yuran lesen atau yuran jaminan yuran dan yuran pemindahan, jadi berhati-hati dengan syarikat pinjaman mereka yang curang.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang dari segi kewangan dan terdesak, saya telah tertipu oleh beberapa peminjam dalam talian. Saya hampir kehilangan harapan sehinggalah Tuhan menggunakan kawan saya yang merujuk saya kepada pemberi pinjaman yang sangat boleh dipercayai yang dipanggil ibu Theresa, yang memberi pinjaman tanpa jaminan dari USD100,000 dalam masa kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau tekanan dan kadar faedah hanya 2%
Saya sangat terkejut apabila saya menyemak baki akaun bank saya dan mendapati bahawa jumlah yang saya memohon, dihantar terus ke akaun bank saya tanpa sebarang kelewatan.
Kerana saya berjanji bahawa saya akan berkongsi berita baik, supaya orang dapat mendapatkan pinjaman dengan mudah tanpa tekanan. Jadi, jika anda memerlukan pinjaman apa-apa, sila hubungi beliau melalui e-mel sebenar: theresaloancompany@gmail.com dan oleh rahmat Tuhan dia tidak akan pernah mengecewakan anda dalam mendapatkan pinjaman jika anda taat.
Anda juga boleh menghubungi saya di e-mel saya: feyzilfatma@gmail.com dan Sety diperkenalkan dan berbincang mengenai Puan theresa, dia juga mendapat pinjaman baru dari Puan theresa, anda juga boleh menghubunginya melalui e-melnya: martinimarais1986@gmail.com Sekarang, semua yang saya akan lakukan adalah cuba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya yang saya hantar terus ke akaun mereka setiap bulan.
Satu perkataan cukup untuk orang bijak
Posting Komentar