Kamis, 02 Agustus 2007

Gelora Pers Perjuangan di Gedung Pelni

Gedung PT Pelni dibangun kurang lebih pada dekade 1930-an. Tapi sejarah gedung ini sudah dimulai jauh sebelum itu, terkait dengan perkembangan kota Surabaya sebagai kota maritim.
Surabaya yang berada di jalur pelayaran samudera yang langsung dari Belanda ke Indonesia, menjadikannya sangat strategis bagi pelayaran asing lainnya. Karena itu, Belanda kemudian mendirikan perusahaan pelayaran samudera bernama Stoomvaart Maatschappij Nederland (SMN), 1870, untuk menyelenggarakan pelayaran langsung Belanda ke Indie (Indonesia).
Kegiatan pelayaran di Surabaya menjadi ramai. Kapal-kapal layar besar yang singgah di pelabuhan Surabaya datang dari berbagai negara, seperti Belanda, Inggris, Amerika Serikat, Denmark, Perancis, Belgia, Hamburg, Cina, Serawak dan dari Bali. Pelayaran interinsuler pun dibuka, antara Surabaya-Makasar pp, Surabaya-Batavia (Jakarta)-Padang pp, Surabaya-Makasar-Menado-Ambon-Ternate pp, hingga Surabaya-Semarang-Batavia.
Perkembangan perusahaan-perusahaan pelayaran yang pesat itu, tentu membutuhkan kantor untuk mengurus segala administrasi perdagangan. Termasuk SMN yang kemudian mendirikan sebuah gedung di Surabaya, yang diperkirakan terletak di gedung Pelni, Jl Pahlawan 114. Tapi bentuk gedung itu bukanlah gedung yang sekarang. Gedung PT Pelni sekarang, diperkirakan dibangun pada dekade 1930-an. Hal itu bisa dilihat dari ciri-ciri yang melekat pada bangunan yang bertipe De Stijl, langgam arsitektur yang berkembang pada 1930-an.
Pada masa kemerdekaan, gedung kantor SMN ini sempat beberapa kali mengalami pergantian pemilik atau pemakai. Diantaranya pernah dipakai oleh perusahaan NV Central Trading Company (1959), PN Tri Bhakti, perusahaan pelayaran PT Jakarta Lloyd (1964), hingga dibeli oleh PT Pelni (Pelayaran Nasional Indonesia, 1991). Berdasar kebijakan yang diberlakukan oleh Menteri Perhubungan RI, kedua perusahaan tersebut (PT Pelni-PT Jakarta Lloyd) menjadi suatu badan milik negara (BUMN).
***
Setelah keruntuhan kekuasan Belanda, Indonesia kembali di bawah cengkeraman kekuasan Jepang. Jepang melalui radio melakukan propaganda akan memberi kemerdekaan dengan membentuk Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Namun, dibawah kekuasan Jepang bukan kemerdekaan yang didapat, justru kemelaratan, kesengsaraan dan penindasan yang datang. Apalagi ketika diterapkan UU No. 3 (20 Maret 1942), yang menyebutkan bahwa segala macam perbincangan, pergerakan, anjuran atau propaganda tentang peraturan dan susunan negara dilarang keras.
Pengawasan yang sangat ketat juga terjadi dalam pemberitaan di media massa. Semua siaran radio Sekutu atau dari radio dari negara lain disegel. Yang ada hanyalah siaran Surabaya Hosokyoku (Radio Surabaya, di Simpangweg), siaran resmi pemerintah. Surat kabar milik orang Indonesia, apalagi milik Belanda atau Cina dilarang terbit. Sebagai gantinya, oleh Jepang diterbitkan surat kabar "Soeara Asia" sebagai koran resmi, tetapi tetap di bawah pengawasan Jawa Shinbun Kai, serikat penerbit surat kabar bentukan Jepang. Wartawan Jepang dimasukkan dalam struktur sebagai penasehat (Syido Kuco).
Setelah radio swasta atau semi pemerintah dihentikan siarannya untuk sementara waktu, Jepang lalu mendirikan Hoso Kanri Kyoku, suatu jawatan yang mengurus dan menyelenggarakan siaran radio. Siaran ke daerah-daerah dapat dijangkau setelah dibukanya 8 cabang Hosokyoku, diantaranya Surabaya, Jakarta, bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Semarang, Surakarta dan Malang.
Kantor Berita Antara sebagai kantor berita nasional yang dirikan oleh Sihaputar dan Adam Malik (1937) di Jakarta dibubarkan, diganti kantor berita Jepang Domei yang berpusat di Tokyo. Kantor berita ini juga memiliki cabang di Surabaya yang berkantor di Jl Alun-alun (kantor PT Pelni). Tapi, menjelang kemerdekaan kora-koran yang pernah dibredel, diam-diam muncul kembali bahkan bermunculan pula banyak koran.
Ketika Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan di Jakarta, tidak segera diketahui secara meluas oleh seluruh rakyat Indonesia. Di surabaya, rakyat mengetahui berita proklamasi dari siaran radio Hosokyoku dan surat kabar Soeara Asia. Berita yang dikeluarkan kedua media massa tersebut bersumber dari Kantor Berita Domei, yang terlebih dulu disensor oleh Hodokan. Berita proklamasi itu memang dapat ditangkap oleh kantor berita Domei dalam bentuk morse cast. Oleh Yacob, markonis yang kebetulan bertugas waktu itu, diketik dengan memakai mesin tulis rangkap satu.
Salinan naskah proklamasi itu segera diserahkan ke R Bintarti dan Bung Tomo, sebagai redaksi. Lalu, dari kantor inilah berita proklamasi tersebut disiarkan ke seluruh Jawa Timur dan daerah sekitarnya. Mendengar berita ini Jepang marah tak kepalang, dan melarang penyebaran berita tersebut. Tapi, menyiasati larangan Jepang ini, wartawan pejuang tidak kekuarangan akal. Ada yang berhasil memuat dalam kalawarta berbahasa daerah yang kurang dipahami penguasa Jepang. Maka loloslah berita itu dalam Warta Surabaya Syu, tertanggal 17 Agustus 1945, yang kemudian dicatat dalam sejarah kalawarta sebagai yang pertama di seluruh dunia yang memuat naskah proklamasi dalam bahasa daerah Jawa. Disusul harian Tjahaya, terbit di bandung pada 18 Agustus 1945 yang juga dicatat sebagai koran pertama yang memuat dalam bahasa Indonesia. Lalu Soeara Asia Surabaya pada 20 Agustus 1945.
Selain dengan bahasa Jawa, wartawan pejuang juga menyiarkan berita proklamasi itu dalam bahasa Madura lewat Radio Surabaya, sore itu juga. Tak ayal, berita itu menyebar dengan cepat, para wartawan surat kabar yang memperoleh berita proklamasi dari gedung Pelni segera ditulis dan disebarkan melalui surat kabarnya masing-masing.
Aspek kesejarahan yang begitu tinggi nilainya selama kemerdekaan, dan arsitektur kuno dengan nilai seni yang menawan, membuat gedung Pelni ini masuk sebagai benda cagar budaya yang harus dilindungi, meski kondisinya kini mengenaskan tak terawat. –hm

Tidak ada komentar: