Minggu, 05 Agustus 2007

Dari Gelap Cahaya Menuju Terang Budaya

Masih ingat bencana yang menimpa Pulau Madura sekitar tahun 1998? Saat itu, tanah garam diterpa gelap gulita selama hampir tiga bulan. Lampu-lampu listrik padam akibat kabel bawah laut putus tersangkut jangkar kapal. Bumi Madura pun hanya kelap-kelip diterangi lampu-lampu minyak tanah.
Keamanan kampung pun menjadi perhatian utama seluruh warga. Suasana gelap itu bisa saja memicu munculnya tindak kriminal dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sebagian warga kemudian berinisiatif untuk mengadakan ronda malam. Dari melekan bersama itu lalu muncul gagasan mengadakan patrol.
Warga Pamekasan tidak hanya menggunakan kentongan untuk patrol. Berbagai alat yang selama ini digunakan dalam kehidupan sehari-hari pun ikut dimanfaatkan. Sebagai contoh drum minyak tanah digunakan untuk memunculkan irama bas, atau kayu gulung berongga tengah yang biasa dibuat tempat udang dipakai untuk menghasilkan bunyi dug-dug. Alat-alat yang bisa menimbulkan seperti klenang, tuk-tuk, tret-tet-tet, sorenan dan lain-lain juga dimanfaatkan.
Setelah berlangsung beberapa hari, Ris Mulyadi yang kini bertindak sebagai koordinator Kramat Percussion, membentuk kelompok perkusi. Ide pembentukan kelompok itupun seperti gayung bersambut diikuti oleh warga lainnya di Kabupaten Pamekasan untuk membentuk kelompok serupa.
Dinamakan Kramat Percussion, katanya, kebetulan di kampungnya terdapat sebuah kuburan keramat. Sebagai penghormatan, kata keramat itu dipakai sebagai nama. Pada saat mengadakan tirakat di makam keramat itu tiba-tiba terlihat jangkrik yang melata di dekat makam. Tanpa pikir panjang, Ris Mulyadi bersama Syamsuddin menjadikan hewan tersebut sebagai ikon.
Rupanya, pengalaman itu juga dialami oleh hampir semua grup perkusi yang terbentuk di kampung-kampung di Pamekasan. Sehingga ada grup-grup yang menggunakan nama hewan sebagai ikon, seperti Semut Ireng dan lain-lain.
Selang setelah kegelapan yang menyelimuti tanah karapan kembali membaik, pemerintah Kabupaten Pamekasan menyambut munculnya sebuah kesenian tradisional baru itu dengan mengadakan festival perkusi se-Kabupaten Pamekasan. Waktu itu, kata Ris Mulyadi, pesertanya membludak mencapai 112 kelompok perkusi. Dan, Semut Ireng berhasil menyabet juara satu, sementara Kramat Percussion hanya menduduki juara dua.
Saat tampil, masing-masing kelompok menunjukkan gayanya sendiri-sendiri. Ada yang menggendong perkakas perkusinya. Ada yang menggunakan mobil bak atau truk lengkap dengan dekorasi sebagai ikon masing-masing. Komposisi perkakas perkusinyapun tidak sama. Ada yang lengkap tapi sebagian besar hanya menggunakan beberapa perkakas dengan personil yang sedikit.
Setahun kemudian, lomba memperebutkan piala Bupati Pamekasan itu kembali digelar. Kali ini Kramat Percussion berhasil meraih juara satu. Bahkan, dalam festival tahunan itu, kelompok ini berkali-kali menyabet juara satu. Hingga akhirnya, dalam tiap festival Kramat Percussion hanya hadir sebagai tamu demi untuk memberi kesempatan pada lainnya untuk tampil meraih juara.
Lambat laun seleksi alam berlaku. Dari 112 kelompok diawal booming perkusi, surut menjadi sekitar 30 grup yang kelihatan dalam beberapa kali festival. Masalahnya, jelas Rismulyadi, permainan perkusi ini membutuhkan ketelatenan dan kemampuan musik yang tidak main-main kalau mau tetap eksis. Selain juga dibutuhkan dana untuk melengkapi perkakas perkusi dan biaya-biaya lain.
Sehingga, tambahnya, tidak heran bila satu-persatu kelompok perkusi di Pamekasan menjadi surut. Tapi, dari yang masih eksis sekarang telah mampu menunjukkan penampilan terbaiknya dalam beragam event, baik tingkat lokal Pamekasan, regional Jawa Timur, nasional bahkan internasional. –hm

Tidak ada komentar: