Senin, 27 Agustus 2007

Bumi Megalitikum Di Bondowoso

Masih ingatkan kita bahwa ada peradaban megalit sebelum peradaban kekinian. Dan, situs-situs bangunan batu besar yang menandai keberadaan budaya megalitik masih banyak terdapat di Bondowoso.

Bondowoso pernah disebut-sebut sebagai kabupaten minus di Jawa Timur. Tapi tidak juga bila ditelusuri dari situs-situs peninggalan jaman batu di kota yang terletak sekitar 192 kilometer arah tenggara Surabaya ini. Boleh dikata, Bondowoso menjadi semacam tanah saksi sejarah peradaban megalitik satu-satunya di Jawa Timur yang terkaya dan masih bisa disaksikan hingga kini.
Sebagai catatan, ahli sejarah dan arkeologi yang pernah meneliti wilayah ini, menemukan benda-benda bersejarah itu tersebar di lima desa dan kecamatan. Antara lain di desa-desa di Kecamatan Tlogosari, Desa Pakauman (Kecamatan Grujugan), Desa Mas Kuning Lor (Kecamatan Pujer), Desa Pakisan (Kecamatan Wonosari), dan Desa Glingseran (Kecamatan Wringin).
Dari penelitian terbatas para arkeolog pada beberapa tahun lalu ditemukan 15 buah sarkopagus di Kecamatan Grujugan. Selain itu, ditemukan pula dolmen (15), batu kenong (65), dan sebuah patung nenek moyang. Di Tlogosari ditemukan lima buah yoni, relief (1), sarkopagus (10), dolmen (4), batu kenong (15), dan sebuah alat rumah tangga. Di Pujer juga ditemukan dolmen (80), batu kenong (12), dan lima buah alat rumah tangga. Sementara di Wonosari hanya ditemukan 30 buah dolmen, dan di Wringin terdapat 67 buah sarkopagus, menhir (1), batu kenong (15 buah), alat rumah tangga (10), dan dua gua alam.
Namun sebenarnya, seperti dijelaskan Slamet Riyadi, peneliti dan ahli sejarah yang menemani liputan Mossaik, bila mau menelusuri lebih saksama, kita akan dengan mudah menemukan batu-batu peninggalan jaman prasejarah itu di banyak titik, tersebar merata di desa-desa di hampir 20 kecamatan di Bondowoso. Jumlahnya jauh lebih banyak dari yang telah ditemukan para arkeolog sebelumnya.

Belum Terdata
Hingga kini, diakui, belum ada penelitian menyeluruh terhadap situs-situs batu di wilayah ini. Sehingga, jumlah temuan yang pernah terpublikasi bukan menjadi catatan akhir jumlah situs yang ada. Bahkan Slamet berani memperkirakan, wilayah Bondowoso menyimpan situs-situs batu terkaya dan terlengkap dibanding yang pernah dijumpai di daerah-daerah lain di Indonesia, seperti di Nias, Toraja, Flores, Sumba dan beberapa tempat lain di Jawa.
Dikatakan terkaya sebab jumlahnya sangat banyak, dan dikatakan terlengkap karena jenis batu-batu peninggalannya beragam. Bila Anda berkesempatan menelusuri jejak situs-situs megalitik di wilayah ini, maka hampir tiap jengkal dapat dijumpai dengan mudah. Kadang batu-batu peninggalan jaman megalitik ini berserakan tidak jauh dari jalan kota, sawah-sawah, sungai, dan di tepi-tepi jalan kecil. Sebagian besar lainnya banyak berada di tengah tanah tegalan petani, di tengah perkampungan penduduk.
Di Desa Pakauman Kecamatan Grujugan, sekitar 5 kilometer di sebelah selatan kota Bondowoso, misalnya, terdapat satu patung nenek moyang yang unik. Orang Bondowoso yang mayoritas berbahasa Madura menyebutnya betoh nyae (batu nyai, red). Betoh nyae memiliki tinggi 153 sentimeter dan tebal 52 sentimeter. Lingkar dadanya berukuran 60 sentimeter, sedang lingkar kepalanya 46 sentimeter. Patung betoh nyae berada di tengah kebun tembakau milik petani. Patung Nyai ini konon dipercaya sebagai Dewi Kesuburan.
Untuk menjangkau dan menyaksikan benda bersejarah ini, kita harus berjalan kaki sekitar tiga ratus meter ke tengah kebun dengan hati-hati agar tidak merusak tanaman tembakau. Menyitir HR Van Hakkeren, peneliti asal Belanda, Slamet mengatakan, patung ini masuk klasifikasi sebagai patung tipe steattopigic atau patung Menhir. Patung jenis ini juga disebutnya sebagai patung nenek moyang tipe Polinesia. D sekitar betoh nyae, terdapat puluhan Batu Kenong, Sarkofagus, dan Dolmen. Batu ini berbentuk seperti gendang, yang pada satu sisinya memiliki tonjolan mirip kenong (peralatan gamelan Jawa).
Situs batu itu bahkan ada yang di dalam pabrik yang masih aktif berproduksi. Singgasana (pelinggihan, Madura) atau lazim disebut Tahta Batu, termasuk salah satu yang ditemukan, tersimpan utuh dalam sebuah pabrik yang letaknya membelakangi betoh nyae. Batu itu terdiri dari alas dan sandaran yang datar. Menurut para ahli, Kursi Batu ini dibuat untuk tokoh-tokoh penting, mungkin kepala suku atau rohaniawan. Bisa juga berfungsi sebagai tempat upacara dalam hubungannya dengan pemujaan arwah nenek moyang.
Diakui, hal-hal mistis masih mewarnai keberadaan batu-batu ini. Di kawasan Prajugan Atas, seperti Citarum dan sekitarnya, katanya, kadang mereka terpaksa memindah rumahnya kalau ada kejadian-kejadian aneh pada kehidupannya. Mereka percaya, kejadian aneh-aneh itu muncul karena pengaruh batu-batu itu di sekitarnya.
Di Desa Tegal Ampel Kecamatan Sekar Putih juga terdapat situs ceceran. Situs batu ini tampak teronggok di sisi jalan, jauh dari kumpulan batu lainnya. Sementara di Kecamatan Maesan terdapat situs Ko’ong, sebangsa sarkopagus dan fragmen batu yang melambangkan sebuah kehidupan, di lereng pegunungan.
Di Desa Banyuputih Kecamatan Wringin terdapat menhir berukuran raksasa. Bahkan menhir berukuran lebih besar juga banyak terdapat di Desa Tarum, Cangkring (Kecamatan Prajekan), Desa Sukokerto (Kecamatan Pujer), Desa Karang Sengon (Kecamatan Klabang), Desa Pakisan (Kecamatan Tlogosari), dan Desa Petung (Kecamatan Curahdami). Di sekitar menhir banyak berserakan situs-situs batu lainnya. Batu-batu itu hampir tak mudah dikenali karena bercampur dengan batu-batu gunung yang banyak ditambang penduduk.
Tak jauh dari situ, banyak juga dolmen di tengah ladang petani. Ukurannya besar-besar menunjukkan status penghuni daerah itu di masa lalu. “Semakin besar dolmen atau sarkopagus, menunjukkan tingginya status mereka. Mungkin karena kekayaan atau keramatnya seseorang,” tukasnya.
Masih banyak lagi ragam dan bentuk situs batu di kawasan Bondowoso. Sayangnya, bagian besar situs kondisinya memprihatinkan. Di beberapa tempat, banyak batu kenong yang hilang. Ada yang terdampar di kawasan markas TNI. Ada yang rusak atau berubah posisi karena berbagai faktor. Selain pengaruh alam, sebagian besar karena jarahan tangan manusia yang belum mengerti.
“Bila diperhatikan, batu-batu ini seperti tak bernilai. Karena itu, masyarakat tidak mengerti arti penting peninggalan ini sehingga dengan mudahnya membuang atau merusaknya. Apalagi pernah ada yang mencoba menggali sebuah situs dan mereka menemukan emas atau manik-manik di dalamnya,” terangnya.

Pemujaan dan Pekuburan
Berdasarkan hasil studi perbandingan soal struktur bangunan tradisi megalitik di berbagai wilayah di Indonesia oleh para ahli, bentuk-bentuk peninggalan di Bondowoso ini diperkirakan berfungsi sebagai sarana upacara pemujaan untuk memohon sesuatu kepada zat yang lebih tinggi. Selain juga sebagai tempat penguburan atau sebagai umpak (fondasi penyangga) bangunan. Tonjolan-tonjolan di atas batu berfungsi sebagai penahan balok-balok kayu yang berfungsi sebagai gelagar (tiang penyangga utama, Jawa). Maksudnya, agar balok-balok kayu bangunan tidak lepas dari umpak.
Berdasar pemikiran R Van Heine Geldern, seorang peneliti asal Belanda, yang tertulis di bukunya Das Megalitihen Problem (1959), Slamet menjelaskan bahwa ada dua era tradisi megalitik yang dikenal orang, yaitu tradisi megalitik tua dan tradisi megalitik muda. Tradisi megalitik tua berkembang pada masa neolitik atau masa cocok tanam, sedangkan yang muda berkembang pada masa perundagian (jaman logam).
Bangunan batu-batu besar (megalith, red) yang dihasilkan pada masa tradisi megalitik tua, jelasnya, banyak berhubungan dengan aktivitas pemujaan roh-roh nenek moyang yang berlangsung di zaman itu. Penginggalannya berupa menhir, dolmen, teras berundak, meja, dan kursi batu. Sedangkan penginggalan tradisi megalitik muda lebih didominasi oleh tempat-tempat penguburan. Megalith yang dihasilkan di era ini biasanya berupa arca primitif, sarkofagus, karanda, kubur peti batu, pandhusa, dan dolmen sebagai penguburan.
Dalam perkembangannya, ternyata kedua jenis tradisi megalitik tersebut bercampur baur, saling tumpang tindih, hingga membentuk variasi-variasi lokal. Sebab ini pulalah para arkeolog Indonesia menemui kesulitan menentukan batas tegas antara tradisi megalitik tua dan muda. Sebab, dalam beberapa kasus, monumen peninggalan yang dimaksud dalam megalitik tua masih dipergunakan hingga masuk periode megalitik muda.
Namun, para peneliti sejarah bersepakat bahwa Kabupaten Bondowoso diperkirakan tergolong dalam era tradisi megalitik muda, yang berlangsung sangat lama hingga sekitar abad XIV masehi. Bahkan, kata alumnus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember (FKIP-Unej), diperkirakan Dolmen Bondowoso berlangsung antara awal tarikh masehi sekitar 2500-2000 Sebelum Masehi. Gambaran waktu ini konon terlihat dari Dolmen di Desa Pakauman, Grujugan. Dari asal katanya, Dol berarti meja, dan Men adalah batu, warga setempat menyebutnya Betoh Meja (batu meja).
Dolmen ini, pada perkembangannya bukan lagi merupakan sarana pemujaan, tapi berfungsi sebagai penguburan (funeral place). Jenazah ditempatkan di bawah, di antara empat sampai lima kaki dolmen. Di dalamnya terdapat berbagai bekal kubur (funeral give). Yang ditemukan beberapa tahun terakhir, berupa gerabah, benda logam dari perunggu, dan manik-manik dari tanah liat yang dibakar.
Soal bekal kubur, lanjutnya, tradisi megalitik Bondowoso juga terpengaruh dari luar. Terbukti dengan adanya bekal kubur seperti manik-manik kaca atau perunggu yang dipengaruhi kebudayaan Dongson, budaya Cina yang masuk sekitar 500 tahun lalu. Benda-benda itu disertakan dalam kubur, karena dianggap sebagai benda kesayangan mereka yang meninggal. Dari sini menunjukkan, bahwa tingkat pemikiran yang mengacu kepada cara-cara perlakuan masyarakat di zaman itu terhadap leluhur sedemikian kentalnya.
Sementara, sarkopagus (kubur batu, red) juga banyak ditemukan di Kota Tape ini. Sarkopagus juga kerap disebut keranda batu, pandhusa yang berfungsi sebagai usungan mayat. Bahan baku pembuatan Sarkofagus, adalah batuan konglomerat yang terdiri wadah dan tutup.
Sarkofagus berupa batu monolit berbentuk memanjang yang dicekungkan bagian tengahnya. Sekilas ia tampak seperti lesung. Di atasnya terdapat tutup batu tersendiri dengan bentuk yang sama, sehingga cekungnya di dalam. Umumnya di atas tutup tersebut terdapat pula hiasan ukir-ukiran yang menggambarkan nenek moyang. Biasanya hiasan itu menyerupai kadal atau gambar raut muka manusia dengan mata melotot.
Menurut hasil penelitian para ahli, bahan baku yang digunakan untuk membuat benda bersejarah ini adalah batu-batu di sekitar lokasi situs. Batu-batu besar itu dipahat seperti pembuatan kubur-kubur batu di Tanah Toraja. Waktu pembuatan Sarkofagus, misalnya, diperkirakan setahun hingga dua tahun per unit, dengan memakan biaya yang tidak kecil.
Bahan baku tampaknya tak jadi persoalan melihat letak geografis Bondowoso, yang dikelilingi oleh gunung-gunung besar, seperti Gunung Argopuro, Krincing, Keong, Saeng, dan Gunung Gugur. Di sisi barat terdapat Gunung Raung, Lampe, Suket, Kalisat Jampit, Malung, dan Lebang atau di kawasan Pegunungan Ijen.
Dolmen, sarkopagus atau menhir, kata Slamet, biasanya terdapat pada tempat yang tinggi, meski banyak juga di tanah datar. Ini tidak lepas dari anggapan nenek moyang bahwa Tuhan atau Shang Yang selalu menempati tempat yang tinggi. “Dan semua situs batu itu pasti menghadap ke Barat. Dan kebanyakan situs batu itu menghadap ke Gunung Arjuno, yang letaknya berada di barat daya Bondowoso,” cetusnya.

Museum Terbuka
Kekayaan Bondowoso akan peninggalan sejarah tradisi megalitik amat disayangkan Slamet, karena hingga kini belum ada perhatian serius dari berbagai pihak, terutama yang berwenang terhadap kelestarian batu peninggalan prasejarah itu. Kalau kondisi batu menjadi tak terurus, menurutnya, masyarakat tidak bisa disalahkan begitu saja. Sebab, upaya pelestarian belum menjadi agenda penting pemerintah Kabupaten Bondowoso.
Akibatnya, perawatan benda-benda bersejarah itu pun tak bisa dilakukan secara optimal. Beberapa fragmen batu tampak terlepas dari kesatuannya, berserakan di sekitarnya. Batu-batu penyangga dolmen juga tampak amblas, dan sebagian sarkofagus pecah. Bahkan, pecahannya tercecer di sekitar rumah penduduk. Padahal dari batu-batu purbakala itulah kita bisa mengenang tradisi Megalitik yang pernah ada.
Karena itu, Slamet prihatin mengapa Bondowoso tidak menjadi museum terbuka untuk studi megalitik, yang sekaligus menjadi obyek wisata sejarah alternatif di Jawa Timur. “Biarlah situs-situs megalitik tetap berada di tempatnya seperti aslinya. Tapi ada sarana bagi pengunjung dan peneliti untuk memudahkan pencapaian ke tempat-tempat yang tersebar itu,” cetusnya.
Selain itu, ia juga mempertanyakan mengapa masyarakat tempo dulu dengan budaya dan peradaban yang sudah tinggi, namun tidak ada penelitian antropologi di Bondowoso. Penelitian dan pendataan yang pernah ada, menurutnya, belum valid karena belum menyentuh semua titik sebaran situs yang ada. “Sehingga jumlahnya belum ditemukan dan letaknya belum secara keseluruhan,” tandasnya.
Soal belum lengkapnya data, juga disayangkan Yoyok Soebakti, Kepala Seksi Sarana-Prasarana, Kantor Pariwisata, Seni dan Budaya Bondowoso. Katanya, kewenangan pengelolaan situs batu peninggalan megalitik ini berada di Dinas Pendidikan Bondowoso. Karena biaya untuk penelitian sangat besar, sehingga belum mampu dilakukan hingga kini.
Sementara, rencana menjadikan tempat-tempat dimana situs berada, masih terkendala di pihaknya. “Selama ini kami hanya mengadakan seminar tentang tradisi megalitik di Bondowoso. Itu saja,” tandasnya. Ditambahkan, kalau mau menjadikannya sebagai obyek wisata sejarah, maka perlu dilakukan penataan yang matang. –hm




Tidak ada komentar: