Selasa, 21 Agustus 2007

Desa Wisata Using: Kaya Tradisi, Minim ‘Sensasi’

Salah satu kekayaan tradisi di negeri ini, masih bisa dijumpai di Dukuh Kemiren, Banyuwangi. Sayang, di tengah kepungan budaya modern, Kemiren yang dinobatkan sebagai Desa Wisata Using karena konon masyarakatnya masih kuat melestarikan tradisi itu, tengah mengalami transisi.

Di tengah rintik hujan, menyusuri jalanan menuju kawasan Desa Wisata Using terasa begitu menyejukkan. Rimbun pepohonan yang memayungi sepanjang jalan menambah keasyikan tersendiri. Sejauh mata memandang, terlihat di kiri-kanan jalan hamparan sawah ditumbuhi padi nan hijau menguning. Tampak di kejauhan laki-laki dan wanita paro baya sedang sibuk mempersiapkan masa panen. Di bagian lain, beberapa wanita tua dengan susurnya dan caping kerudung yang khas tengah nggampung atau memanen padi dengan alat ani-ani, sebuah cara yang biasa dilakukan petani dalam memanen padi Jawa waktu dulu.
Sesampai di Kemiren, Kecamatan Glagah, sekitar 7 kilometer dari pusat kota, pedukuhan yang dikukuhkan sebagai Desa Wisata Using oleh pemerintah sejak 1989 itu, saya sempat bingung dan ragu, benarkah penelusuran ini sudah sampai di tempat yang dimaksud. Sekilas tak ada keistimewaan apapun, kecuali panorama alam perkampungan dengan deretan rumah-rumah penduduk yang warganya sehari-hari kehidupannya bertani di sawah. Panorama yang bisa ditemui di desa manapun di tanah Jawa.
Kalau saja kunjungan ke sana hanya untuk wisata dan jalan-jalan semata, rasanya tidak akan dapat menikmati nuansa keindahan sebagaimana tempat-tempat wisata di bagian lain di Banyuwangi, seperti Gunung Ijen, Alas Purwo, Perkebunan Kaliklatak, G-Land di Plengkung dan sebagainya. Di sinilah letak perbedaannya, bukan keindahan alam semata yang ditawarkan Kemiren, tapi kekhasan budaya tradisi dan keindahan seni yang unik yang ditonjolkan. Untuk dapat menikmati apa yang ditawarkan Desa Wisata Using di Kemiren, mau tak mau kita harus berinteraksi dengan warga setempat, yang manapun yang kita pilih. Ketika berhasil ngobrol bersama mereka dengan gayeng, baru kita akan merasakan keramahan, keluguan khas orang desa, dan menikmati kekayaan budaya adat dan seni yang kuat mereka lestarikan hingga kini.

Mulai Kasur hingga Gandrung
Kekayaan budaya tradisi dan seni di Kemiren bisa ditelusuri dari banyak hal. Mulai dari yang sangat sederhana dan tidak disangka-sangka sampai yang paling menonjol. Rasanya kita dibuat terkaget-kaget dan kagum menyaksikan keunikan dan kekhasan kehidupan orang di Kemiren.
Bayangkan satu hal tentang kasur, misalnya. Demi kenyamanan tidur dan mungkin gengsi, tentu kita berlomba memilih kasur yang berkualitas, produk merek terkenal, dengan jenis dan bahan yang sama sekali berbeda dengan orang lain, bahkan dengan tetangga kita sekalipun. Tapi di Kemiren, yang warganya mencapai sekitar tiga ribu jiwa itu, ternyata kasurnya sama semua di tiap-tiap rumah. Saya sempat mencoba membuktikan dengan mengacak mendatangi beberapa rumah warga, dan heran bukan alang-kepalang bahwa ternyata di kamar tidur mereka semua terdapat kasur berwarna hitam-merah itu. “Benar kan yang saya bilang kalau kasur mereka sama. Apa perlu kita datangi semua rumah di sini?” tantang Djarot, seorang staf dari Dinas Pariwisata Banyuwangi yang menyertai kunjungan saya waktu itu..
Satu keunikan yang mungkin tidak akan pernah kita temui di manapun di negeri ini. Apalagi kalau mau menelusuri lebih jauh, maka akan kita temukan keunikan-keunikan yang tidak kalah mengagumkan, baik dari sisi budaya tradisi maupun seni. Ada tradisi mocoan lontar Yusuf, kebo-keboan, nggampung, jaranan, barong, adat perkawinan, selamatan, dan sebagainya sampai tari gandrung.
Mocoan lontar Yusuf, misalnya. Tradisi ini berbentuk bacaan yang menceritakan tentang kehidupan nabi Yusuf dengan segala aspek petunjuk kehidupan, seperti soal asmara (kasmaran), soal alam dan kehidupan (pangkur), soal doa-doa (durmo) dan sejarah Nabi Yusuf (sinom). Bacaan itu awalnya ditulis di daun-daun lontar, sebelum kemudian ditulis di kertas dan dibukukan seperti sekarang. Cara membacanya pun khas, ditembangkan layaknya bacaan di Yogyakarta yang menggunakan laras pelog atau selendro. “Lucunya, mocoan lontar ini bahasanya Kawi, ditulis dengan tulisan arab, tapi yang membaca orang Banyuwangi (Kemiren, pen.),” ungkap Purwadi, keturunan asli Kemiren yang uri-uri tradisi mocoan ini. Tradisi yang sudah berlangsung ratusan tahun lalu itu hingga kini masih tetap hidup dan biasanya dibaca setiap minggu sekali atau tepatnya tiap malam Rabu.
Karena kekhasannya itulah, mocoan lontar Yusuf ini pernah menarik perhatian seorang doktor dari Belanda, Bernard Apps dan menjadikannya sebagai objek penelitian. Hebatnya, Purwadi menuturkan, kesimpulan dari penelitian Bernard Apps yang membandingkan antara bacaan di Yogyakarta dengan Banyuwangi mengungkapkan bahwa mocoan lontar ini merupakan bacaan yang asli.
Selain itu, pada acara-acara seperti bersih desa biasanya diselenggarakan upacara ritual kebo-keboan dan upacara adat Seblang. Seblang ini merupakan jenis tarian mistis yang mampu membawa penarinya pada kondisi trance yang biasa dipertontonkan di tengah upacara bersih desa. Ada pula tradisi pertandingan adu kekuatan fisik saling pukul dengan cambuk yang disebut gitikan. Ini tradisi pamer maskulinitas di antara pemuda Using, sama dengan tradisi bintean, adu kuat menendang bagian belakang betis lawan sementara lawan berusaha tidak terjatuh.
Juga ada perang bangkat yang biasa diselenggarakan pada upacara perkawinan anak bungsu. Perang yang dimaksud adalah perang mulut antara pihak mempelai pria dan wanita menjelang upacara dipertemukannya pasangan pengantin, sebagai simbol betapa tidak mudah dan banyak persyaratan yang diperlukan untuk meminang sang gadis.
Ada pula acara tublak ponjen atau ngosek ponjen, ngruwat atau ngrokat, selain upacara yang lazim juga di Jawa seperti acara tujuh hari bayi (mitoni) atau tingkeban, mudhun lemah dan tradisi mencari jodoh bagi para gadis dan janda dalam arena warung bathokan. Pada saat panen juga ada tradisi nggampung atau memetik padi dengan ani-ani lengkap dengan iringan tabuhan gendang yang kadang sampai sehari penuh. Posisi penabuh gendang juga tergolong tidak biasa, mereka berada di ketinggian sebuah bangunan yang disebut paglaak. “Semakin tinggi sebuah paglaak menunjukkan begitu besar harapan dan rasa syukur seseorang. Mereka berada di atas bisa sampai seharian. Makan, minum, kopi dan sebagainya dikirim ke atas,” tutur Purwadi.
Gambaran budaya tradisi di atas hanya sebagian saja dari kekayaan tradisi yang dimiliki orang Using di Kemiren. Di antara sekian banyak tradisi itu sebagian besar masih bisa disaksikan dalam perhelatan-perhelatan tertentu, tapi ada juga yang eksistensinya diambang kepunahan. Salah satu tradisi yang berusaha dipertahankan adalah tari gandrung. Tari ini bahkan dijadikan ikon dan seni andalan kota Banyuwangi.
Tarian ini sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat, sehingga tidak hanya bisa dijumpai di tanah asalnya, tapi sudah berkelana ke berbagai kota di Indonesia, seperti di Bali, Jakarta, Surabaya. Mulai acara pentas seni, pagelaran seni, hingga perhelatan kenegaraan atau penyambutan tamu pejabat pusat maupun pejabat daerah. Bahkan lebih dari itu, tari gandrung ini sudah menjamah negara-negara tetangga hingga ke negeri Belanda dan Amerika Serikat, dengan modifikasi sedemikian rupa menjadi tari gandrung profesional.

Rumah Adat
Dibanding adat dan tradisi di daerah lain, kekayaan adat tanah Using di Kemiren tergolong unik dan memiliki ciri khas. Kekhasan itu juga bisa ditelusuri melalui rumah adat yang struktur utamanya masih bisa disaksikan di rumah-rumah warga di Kemiren, bila pun sebagian besar sudah mengalami modifikasi karena perkembangan kebutuhan dan selera modern. Misalnya pada atap, dinding, lantai dan pembagian ruang di dalam rumah.
Purwadi bercerita, rumah adat asli Using beratap alang-alang atau welit. Berlantai tanah dan berdinding anyaman pajang (bambu) yang direkatkan dengan tali dari pring, bukan dengan paku. Pembagian ruang dalam rumah pun sangat unik, karena dalam sejarahnya mengalami tiga kali perubahan. Perubahan itu akan panjang bila diceritakan, namun yang pasti pola pembagian ruang yang memisahkan tiga ruangan berurutan dari depan ke belakang, yakni bale (teras), jrumah (=jero omah, dalam rumah) dan pawon (dapur). Tidak ada ukuran standar dimensi ruangan itu. Masing-masing ruangan memiliki kerangka bangunan.
Ada tiga jenis konstruksi kerangka bangunan rumah adat Using, yakni tikel, crocogan dan baresan. Secara sederhana bisa digambarkan, rumah tikel itu bentuknya sebuah rumah dengan dua teras di depan dan belakang, dan struktur kerangkanya agak rumit tapi paling dihargai. Sementara crocogan berbentuk rumah dengan satu teras di depan, dan baresan berbentuk rumah tanpa teras. Bagian rumah tikel biasanya digunakan baik untuk bale maupun jrumah, terkadang bertukaran kombinasi dengan rumah crocogan. Sedangkan untuk pawon, orang Using memilih antara crocogan atau baresan yang detil konstruksinya lebih sederhana daripada tikel. Artinya, tiga ruangan dalam satu rumah tangga Using itu masing-masing memiliki tiga bentuk kerangka bangunan dan atap.
Menariknya, setiap bagian dari konstruksi rumah memiliki nama dan pesan-pesan simbolis. Hanya saja tidak bisa diceritakan dengan detil, karena tidak banyak orang di Kemiren yang mampu memberi penjelasan, ditambah lagi belum ada studi mendalam yang meneliti tentang rumah adat Using ataupun kodifikasi yang lengkap tentang adat dan seni Using.

Anjungan Wisata Using
Motif utama ditetapkannya Kemiren sebagai Desa Wisata Using karena Kemiren merupakan satu dari sekian puluh desa di Banyuwangi yang masyarakatnya dianggap paling kuat memegang tradisi tanah Blambangan itu. Segala jenis kebudayaan adat dan seni seperti digambarkan di atas, rata-rata masih bisa disaksikan di Kemiren, tidak di desa lain. “Dengan alasan itu harapannya kawasan ini dapat menjadi kawasan wisata budaya/adat yang bisa dijual ke wisatawan. Karena kita yakin, budaya adat dan seni itu memiliki nilai jual yang tinggi,” ujar Asma’i Hadi, Kepala Dinas Pariwisata Banyuwangi.
Alasan lain dipilihnya desa Kemiren dengan perhitungan untuk mendekatkan titik-titik daya tarik wisata lain di Banyuwangi yang membujur membentuk segi tiga emas wisata (the diamond triangle) dalam konsep wisata Banyuwangi, yakni antara obyek wisata Kawah Ijen, Pantai Plengkung di Banyuwangi Selatan (Semenanjung Blambangan) dan Taman Nasional Baluran, kawasan cagar alam di bagian utara.
Untuk menunjang dan memperkuat keberadaan Desa Wisata Using itu pemerintah kemudian berkeinginan membuka taman tersendiri sebagai Anjungan Wisata Using, yang letaknya di kawasan Kemiren juga. Pada tahun 1995 tempat wisata seluas 2,5 hektar itu mulai direalisasikan. “Konsepnya, tempat itu akan di-set up sebagai miniatur Desa Wisata Using. Segala jenis adat dan seni Using akan diboyong ke sana. Mulai dari rumah adat, barang kerajinan adat, upacara-upacara adat sampai seni tradisi akan ditampilkan di anjungan,” Asma’i menandaskan.
Sayangnya, sejak 1995 hingga sekian tahun belakangan, gagasan dan ambisi besar untuk menjadikan anjungan itu sebagai obyek wisata andalan, belum mampu merepresentasikan kekayaan tradisi dan seni using. Konon, proyek ini dibangun dengan biaya Rp 4 miliar.
Dihitung dari interval waktu yang dibutuhkan untuk realisasi proyek, bisa dikatakan kondisi anjungan itu amburadul dan terbengkalai, sebelum kemudian pada pertengahan tahun 2002 lalu dilakukan renovasi dengan pihak ketiga sebagai pelaksana dan pengelola. Artinya bukan pihak pemerintah lagi yang bertanggung jawab, tapi investor yang asli Banyuwangi dan besar (pengusaha besar, pen.) di Kalimantan itu yang mengambil alih peran. “Sekarang sudah bagus, dan ... sudah sesuai dengan harapan kita,” tambahnya.
Secara fisik Anjungan Wisata Using dapat digambarkan, di pintu masuk dibangun loket, kemudian ada kedai tempat berjualan sovenir dengan halaman luas untuk panggung terbuka. Ada sekitar enam rumah mungil untuk penginapan (cottage) mengadopsi bentuk rumah crocogan, dan di sebelahnya ada tiga rumah dengan ukuran lebih besar mengadopsi bentuk tikel, untuk penginapan juga dengan kelas VIP. Sebelahnya lagi ada sanggar, tempat untuk atraksi berbagai seni budaya. Juga ada restoran, masjid, lapangan terbuka untuk atraksi-atraksi seni yang lain dan untuk arena bom-bom car.
Di bagian bawah dilengkapi dengan dua kolam renang, kecil dan besar. Rencananya, kata Hari Pranoto, pelaksana proyek, selain nanti ada sepeda air juga akan disediakan water boom atau papan selucur air yang panjangnya sekitar 100 meter. “Untuk atraksi budaya Using apapun, kita sudah siapkan arenanya. Untuk rekreasi juga ada kolam renang dan arena bermain anak. Dengan desain seperti ini rasanya klop antara kepentingan apresiasi budaya dengan kepentingan bisnis sebagai obyek wisata. Jadi harap maklum kalau kita kenakan tiket masuk untuk pengunjung.”
Tapi benarkah konsep dan desain seperti itu akan mampu menarik banyak pengunjung, baik lokal maupun wisatawan, ke lokasi Anjungan Wisata Using? Kita ikuti saja perkembangannya. -hm

Lihat tulisan terkait:
Ketika Konsep Disikapi Sebagai Proyek

Tidak ada komentar: