Ceritanya, sekitar empat orang seniman dan budayawan, dengan Hasnan Singodimayan termasuk di dalamnya, tengah mencari sebuah desa di Banyuwangi yang masih kental dengan budaya adat Using untuk dijadikan sebagai Desa Wisata Using. Pencarian itu memakan waktu berbulan-bulan bahkan tahun. Menurut pengakuan Hasnan, tidak mudah memilih sebuah desa bukan karena tidak ada. Tapi justru kebanyakan desa di Banyuwangi rata-rata masih kental dengan budaya Using. Hanya saja sebagian besar belum memenuhi ukuran standar, kecuali kemudian ditentukan Kemiren, salah satu pedukuhan terkecil di Kecamatan Glagah, Banyuwangi.
Sekitar tahun 1989 Kemiren akhirnya dikukuhkan sebagai Desa Wisata Using. Pertimbangan utamanya, Kemiren warganya dinilai paling kuat memegang tradisi sehingga berbagai jenis budaya adat dan seni Using masih terjaga sepanjang masa. Dengan pertimbangan itu, Hasnan dan kawan-kawan mengusulkan ke pemerintah Dati II (=Pemerintah Kabupaten sekarang), khususnya Dinas Pariwisata Banyuwangi. Oleh pemerintah kemudian gagasan itu ditangkap dan diusulkan ke pusat (Pemerintah Dati I, Pemerintah Provinsi sekarang).
Ternyata, menurut pengakuannya, ide itu disikapi oleh pemerintah pusat sebagai proyek. Ketika jadi proyek, gagasan membentuk Desa Wisata using, termasuk Anjungan Wisata Using sebagai miniatur taman wisatanya dan direalisasikan sejak tahun 1995, itu dikerjakan apa adanya, setengah-setengah dan tidak sesuai dengan semangat konsep utamanya. “Selama sekian tahun belum memuaskan untuk apresiasi maupun representasi adat Using,” tandas Penasehat Dewan Kesenian Blambangan itu (suaranya meninggi).
Setelah itu, oleh pemerintah pusat proyek itu kembali dilempar ke pemerintah daerah. Tapi ketika proyek itu dijalankan, lanjut penulis novel “Kerudung Santet Gandrung”, pemerintah daerah tidak mendapat dukungan, utamanya dari para seniman dan budayawan. Pemerintah seakan berjalan sendiri tanpa keterlibatan para budayawan, bahkan masyarakat Kemiren sendiri. “Tetap tak ada hasilnya.”
Entah ketidakberhasilan itu karena ketidakmampuan pemerintah atau kendala di lapangan, “Saya tidak bisa berkomentar, yang jelas pembangunan sekarang sudah cukup baik setelah dipegang pihak ketiga sebagai investor,” ungkapnya. Investor itu, kata Duta Wisata Using (julukan yang disandangkan orang Banyuwangi terhadapnya), mengikuti apa yang diusulkan oleh para budayawan. Sehingga ada “perkawinan” antara keinginan pengembang dan budayawan. “Sebagai pengembang, anjungan dijadikan sebagai tempat rekreasi demi menarik kunjungan masyarakat atau wisatawan untuk kepentingan bisnisnya, dan budayawan berpesan meski sebagai tempat rekreasi harus tetap memperhatikan nilai-nilai budaya Using.”
Bahkan beberapa waktu lalu, Hasnan dan kawan-kawan sempat membawa masyarakat adat seluruh Jawa ke lokasi anjungan. Ada Badui, Tengger, Samin, Cirebon dan sebagainya. “Mereka rata-rata mengacungkan jempol. Hebat, Banyuwangi punya seperti ini,” kata pegiat seni dan budaya Using ini menirukan komentar teman-temannya. Ia juga kerap menggunakan objek wisata ini sebagai ajang perhelatan berbagai acara kebudayaan.
Baginya, pola “perkawinan” seperti di anjungan tak bisa dielakkan, seiring perkembangan jaman. “Tak perlu terlalu dirisaukan karena keasliannya masih tetap dijaga. Buktinya Thailand, Singapura atau Malaysia cukup berhasil dengan konsep-konsep seperti ini,” katanya menyontohkan.
Tapi apakah konsep seperti ini sudah final? Andang Subaharianto, Kepala Pusat Kajian Using, lembaga penelitian tentang budaya Using dan Madura di Banyuwangi, yang berdiri di lokasi Desa Wisata Using di Kemiren mengatakan, kebijakan mendirikan Desa Wisata Using tidak berpegang pada konsep yang jelas. “Meski budaya Using potensial untuk dijual kepada wisatawan, tidak akan berhasil tanpa konsep yang jelas.”
Bagi pengajar di Fakultas Sastra Universitas Jember itu, Desa Wisata Using akan lebih prospek bila dikembangkan sebagai wisata berbasis komunitas. “Artinya wisata itu harus langsung berkaitan dengan masyarakat setempat. Mereka, khususnya warga Kemiren, harus dilibatkan dengan saksama dan bersama-sama. Kalau tidak ada keterlibatan antara Anjungan Desa Wisata Using dengan masyarakat Kemiren sendiri dan wisatawan, jangan berharap banyaklah,” tegasnya. -hm
---oOo---
Pentingnya kepedulian walau setitik ...
Masyarakat Kemiren pada umumnya bertani. Setiap hari kehidupannya banyak bergulat dengan sawah pertanian. Meski dalam beberapa aspek sudah tersentuh budaya modern, tidak begitu saja tergerus apalagi terjerumus. Hal itu terlihat dari pola hubungan sosial yang ditunjukkan kebanyakan warga Kemiren kepada para pendatang, siapapun dia. Mereka juga bukanlah tipe masyarakat tertutup terhadap budaya apapun dari luar. “Kalau ada yang mengatakan masyarakat Kemiren tertutup dilihat dari rumah adatnya yang tanpa jendela, rasanya tidak benar. Semua orang di sini terbuka dan ramah,” papar Setiawan, pengusaha dan pemilik kebun kopi di Banyuwangi.
Diakui atau tidak, kata Bachtiar Dahlan, Kepala Seksi Seni dan Tradisi Deparsenibud Banyuwangi, dalam beberapa tahun belakangan Kemiren telah mengalami pergeseran. Rumah adat Using sudah banyak berubah, tari gandrung dan beberapa seni tradisi yang lain juga mengalami kelangkaan peminat. Bila saja tidak ada orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap adat dan tradisi ini, barangkali sudah beberapa tahun lalu hilang tak berbekas. “Kami dari dinas juga mengadakan pelatihan tari gandrung selama sebulan ini, dengan tujuan untuk regenerasi bagi tarian gandrung,” katanya.
Saya berusaha mencari dan mengenali orang-orang peduli yang dimaksud, dan setidaknya menemukan beberapa di antaranya, seperti Purwadi yang kuat melestarikan tradisi mocoan lontar Yusuf hingga generasi ketiga. Ada pula Sae (orang Banyuwangi memanggilnya Pak Sahe) yang rajin mengumpulkan dan merawat barang-barang antik khas Using, bahkan memuseumkan barang-barang itu di rumahnya. Selain juga ada Setiawan, yang rela membuka lahan seluas kira-kira satu hektar sebagai tempat menampung rumah-rumah adat dan bermacam perabotan rumah Using, demi menjaga kelestariannya.
Purwadi, 40, yang bertindak sebagai koordinator mocoan lontar, hampir setiap minggu menembangkannya bersama orang-orang di desa Kemiren. Jumlahnya tergolong banyak untuk sebuah paguyuban seperti ini, mencapai 30-50 orang setiap pertemuan. Dari mereka yang sudah tua sampai anak-anak mudanya. Bahkan dia membuka semacam kursus di rumahnya bagi yang muda-muda, karena mereka sudah kesulitan belajar membaca dan menembangkannya. “Biarlah yang tua-tua berjalan seperti biasanya, dan saya ngurusi yang muda-muda,” tuturnya sedikit bercanda.
Sementara itu, rumah Pak Sahe, yang juga termasuk penerus generasi ketiga, selalu menjadi rujukan bagi wisatawan atau siapapun yang penasaran ingin melihat apa saja sebenarnya barang-barang adat Using. Di rumah seluas kira-kira 10 x 20 meter yang jaraknya sekitar 500 meter dari Anjungan Wisata Using arah ke kota itu, dipenuhi oleh barang-barang yang tergolong langka, bahkan di Banyuwangi sendiri. Mulai dari perabotan rumah, seperti grobyog (almari), meja-kursi antik, amben baik untuk tempat tidur atau duduk-duduk, dan sebagainya. Ada juga peralatan bertani seperti kapak, arit, gampung, bendo, pacul, alu, gesah dan lain-lain. Disamping itu terpampang juga pernak-pernik barang antik yang sangat banyak jumlahnya. Rumah yang dipakai gudang penyimpanan itu pun masih asli rumah adat Using. Bahkan oleh pemerintah rumah itu dijadikan tempat rujukan bagi para wisatawan.
Jenis-jenis barang seperti itu juga bisa disaksikan di “museum” milik Setiawan, bahkan tampak lebih rapi. Hanya saja jumlahnya tidak banyak. Kebanyakan justru rumah-rumah adat dengan segala tipe konstruksinya; tikel, crocogan maupun baresan, memenuhi lokasi. Kebanyakan rumah itu dibiarkan terbuka tanpa dinding penutup, sehingga tampak gagah dan jelas kekhasannya. “Ciri khas rumah adat Using itu kan knockdown, mudah dipindah-pindah. Fenomenanya, kebanyakan rumah-rumah seperti ini dibeli orang dan dibawa ke luar Banyuwangi. Kalau dibiarkan kan lama-kelamaan akan habis. Karena itu saya berusa memulung apa saja yang menjadi ciri khas adat Using agar bisa tetap lestari hingga 80 sampai 100 tahun lagi, ketika mungkin rumah ini sudah hilang dari tanah Banyuwangi,” ujarnya.
Di lokasi ini juga, ia memberi kursus dan membuka lapangan kerja bagi wanita-wanita muda Kemiren untuk membuat kerajinan dari bahan serat, seperti membuat taplak meja dan lain-lain. “Hanya untuk memberi keahlian kepada mereka, dan lumayan kan buat tambahan pendapatan mereka.” -hm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar