Selasa, 29 Januari 2008

Hitam Putih Mongde Nganjuk

Seni yang sarat dengan nilai perjuangan ini kembali menemukan angin segar. Penampilannya kian diakui dunia seni di negeri yang kian beringsut dari khasanah tradisinya.

Wanita-wanita cantik berjajar rapi membentuk barisan. Tak lama kemudian deretan wanita berbaris itu membuat gerakan rancak ditingkahi irama musik tradisional. Saat berikutnya, barisan wanita yang tampak lembut itu berubah jadi garang. Mereka saling berhadapan dan beradu pedang. Anehnya, tak ada tersungkur di antara mereka yang terkena sabetan pedang.
Ya. Mereka sedang mengatraksikan seni Mongde, salah satu kesenian khas Nganjuk. Seni Mongde menggambarkan semangat perjuangan prajurit menghadapi perang. Mereka tak kenal lelah berlatih seni perang. Tak kenal putus asa, mereka terus-menerus merapatkan barisan sambil melatih keahlian memainkan senjata pedang. Satu nilai yang mereka pegang, pada akhirnya kebaikan akan selalu menang melawan kejahatan di padang laga.
Atraksi Seni Mongde yang malam itu dimainkan kelompok seni Griya Bheksan asal Nganjuk, menunjukkan pesonanya. Mereka mengatraksikannya sambil mengitari Pendopo Cak Durasim sebelum Festival Cak Durasim 2007 dibuka. Kesenian ini ditampilkan untuk mengawali sebuah perhelatan seni bergengsi tentu memiliki makna khusus. Nilai perjuangan, kebaikan, penghormatan tradisi, kebersamaan di antara keanekaragaman, dan kejujuran senantiasa harus diaktualkan untuk mengawal jaman yang terus berubah ini.

Mung Mung Dhe
Kesenian ini disebut seni Mongde berawal dari paduan bunyi dua alat musik tradisional yang mengiringinya. Alat musik pengiring itu adalah penitir, semacam kempul yang berbunyi “mung”, dan bendhe, semacam kempul yang berbunyi “dhe”. Dari perpaduan bunyi itulah lantas masyarakat menyebut kesenian itu mongde. Dari literatur yang ada, masyarakat lebih suka menuliskannya Mung Dhe. Alat musik pengirin lainnya adalah jur semacam tambur, kempyang atau kencer,timplung, kendang, dan suling.
Menurut Nurgati Gunajuwita, SPd, koreografi Sanggar Griya Bheksan, pada awalnya kesenian ini melibatkan 14 pemain dengan peran masing-masing. Dua orang prajurit, dua orang pembawa bendera, dua orang botoh, dan delapan orang pemain dan pengiring.
Namun, pada perkembangannya Seni Mongde tidak lagi melibatkan 14 orang, tapi hanya 12 pemain. “Pengurangan dua pemain itu disesuaikan dengan jumlah alat musik pengiring,” katanya. Enam alat musik yang dimaksud adalah penitir, timplung, bendhe, jur, kempyang, dan derodog.
Ketika mengatraksikan sebuah lakon, kesenian ini tidak memerlukan ragam gerak yang banyak. Seni keprajuritan ini hanya memiliki delapan gerak. “Jadi walaupun dipentaskan dalam durasi yang lama pun, para pemain hanya akan melakukan gerakan tertentu saja yang diulang-ulang,” paparnya.
Delapan gerak itu, tambahnya, secara umum menggambarkan kegiatan prajurit yang sedang berlatih pedang. Ada gerak jalan berpedang, yaitu jalan dengan pedang diputar-putar di depan dada, sementara tangan kiri di pinggang atau malang kerik dalam istilah Jawa. Ada gerak maju muncur, yakni gerakan seperti jalan berpedang dengan gerakan maju mundur.
Gerakan berikutnya tampak lebih garang, seperti gontokan, perangan lombo rangkep, perangan rangkep, dan perang berhadapan, dan srampangan. Gerak gontokan menggambarkan adu kekuatan di tempat sambil saling merapatkan bahu kanan-kiri dengan pedang. Perang lombo rangkep melukiskan gerak pedang ditepiskan pada tanah kemudian saling serang mulai tempo lambat hingga kian cepat (lombo rangkep).
Sedangkan, gerak perang rangkep mempertontonkan gerak prajurit yang saling berhadapan untuk adu kekuatan pedang sambil saling serang maju-mundur. Gerak perang berhadap menunjukkan prajurit adu pedang atas-bawah secara cepat, lalu pedang ditepiskan pada tanah diadu. Dan gerak srampangan melukiskan penari saling menyerang dengan melemparkan pedang pada kaki lawan secara bergantian dan saling menangkis. “Tangkisan yang pertama di atas kepala dan yang kedua di depan ada,” jelas guru kesenian SMPN 3 Nganjuk.
Diantara semua gerak itu, ada gerak yang tak pernah ditinggalkan, yaitu kirapan. Kirapan adalah gerak jalan berbaris sambail diiringi musik Mongde. “Gerak ini menggambarkan kebersamaan. Prajurit yang hendak menuju atau sedang perang harus dalam satu barisan, tidak boleh cerai-berai,” tandasnya.

Penthul & Tembem
Hal unik pada kesenian Mongde diantaranya terletak pada tata rias wajah dan busana para pemainnya. Tata rias itu menggambarkan seorang prajurit bangsawan yang gagah. Kegagahan itu dibentuk dengan penambahan atau mempertebal bagian tertentu pada wajah, seperti alis mata, kumis, godhek dan jawas. “Tetapi untuk peran botoh yaitu Penthul memakai topeng warna putih, sedangkan Tembem menggunakan topeng warna hitam,” lanjutnya.
Sedangkan tata busana para pemain, pada dasarnya sama menggunakan busana seorang prajurit. Bedanya, pada masing-masing peran. Warna kostum banyak didominasi oleh perpaduan warna hitam, merah, dan putih. Namun, kini kostum yang dipakai para pemain mengalami perubahan.
Busana asli seorang prajurit, misalnya, adalah irah-irahan merah agak tinggi, samping, kace berwarna merah, baju putih, memakai klat bahu, keris selendang merah, stagen hitan, epek timang, berkain kuning, jarit parang putih, dan celana panji hitam. Kini, prajurit memakai blangkon hitam bervariasi kuning keemasan dengan diikat udheng gilig (merah-putih), kace merah, selendang merah, baju putih, memakai keris, stagen hitam, sampur merah dan putih, jarit parang kuning dan celana panji hitam.
Busana pembawa bendera juga demikian. Busana aslinya memakai irah-irah merah agak pendek dengan variasi kuning keemasan, sumping, kace berwarna merah, baju putih, memakai klat bahu, selempang merah, stagen hitam, epek hitam, kain kuning, jarit parang putih dan celana panjang putih. Namun kini, busananya sama dengan busana baru prajurit. Bedanya, tidak memakai sampur merah dan putih.
Busana pembawa bendera seperti ini sama dengan busana baru para pengiring. Padahal, busana asli pengiring memakai udheng cadhung hitam yang diikat udheng gilig merah putih, kace berwarna merah, baju putih, keris, selempang merah, stagen hitam, epek timang, kain kuning, jarit parang putih, dan celana panji hitam.
Busana pemeran botoh, yaitu Penthul dan Tembem, lebih kompleks lagi. Busana asli pemeran Penthul memakai udheng cadhung hitam dengan diikat udheng gilig merah putih, kace merah, sampur merah dikalungkan pada leher, baju lengan panjang putih, keris, stagen hitam, epek timang, kain kuning, jarit parang putih dan celana panjang putih. Nyaris sama dengan busana asli Tembem kecuali topngnya hitam dan dan tidak memakai keris, serta celana panjangnya berwarna hitam.
Busana asli itu kini berubah menjadi seperti busana baru pembawa bendera. Hanya, busana Penthul ada tambahan topeng warna putih dan sampur putih yang dikalungkan pada leher. Sementara Tembem memakai blangkon ikan kepala warna merah putih, topeng hitam, sampur hijau dikalungkan pada leher, baju lengan panjang hitam, dan celana kombor hitam.
Begitu detilnya kostum dan tata rias pemain kesenian Mongde, karena jenis kostum itu menggambarkan nilai-nilai luhur. Nurgati menjelaskan, “Kesenian ini juga menggambarkan peperangan. Bagi mereka yang berperan kalah memakai kace hitam, sampur hijau, dan topeng hitam. Sementara pihak yang menang memakai maca merah, sampur putih, dan topeng putih. Itu artinya, kejahatan yang dilambangkan dengan hitam akan kalah pada akhirnya melawan kebaikan dengan lambang putih itu.”

Sempat Tenggelam
Menelusuri perkembangan seni khas Nganjuk ini tak beda dengan kesenian tradisi di berbagai daerah lainnya. Untuk waktu yang lama, kesenian ini pernah tenggelam dan kalah pamor dengan kesenian populer. Beruntung pada 1982 dilakukan penggalian kembali dari daerah asalnya.
Setelah ditemukan, oleh pegiat seni di SDN Garu II, Kecamatan Baron, kesenian ini dipelajari dan dikembangkan. Dari SDN inilah Seni Mongde mulai dikenal oleh masyarakat luas di Kabupaten Nganjuk.
Seiring waktu, pada 1985, atas prakarsa Bupati Ngajuk (waktu itu dijabat Drs. Ibnu Salam), dikumpulkanlah para tokoh seni tari Nganjuk dan seniman dari Yogyakarta. Mereka diminta untuk mengadakan pembaruan seperlunya tanpa mengurangi keasliannya. “Akhirnya ditemukan gerak tari yang enak ditonton.
Lambat tapi pasti, Seni Mongde makin moncer dan kian kerap dipentaskan pada acara-acara resmi dan bergengsi. Pentas massal pernah dilakukan oleh siswa SDN Kecamatan Nganjuk pada acara pembukaan Porseni se-Kabupaten Nganjuk. Pernah pula diikutsertakan dalam festival tari tradisional di Surabaya dan mendapat penghargaan 10 besar.
Sanggar Griya Bheksan, kata guru yang juga mengajar di SMAN 1 Berbek dan SD Mangundikaran 2 Nganjuk, juga telah berulang kali tampil dalam even kesenian yang pretisius. Antara lain; Festival Kesenian Jatim pada 2005 dan mendapat nominasi terbaik. Dua tahun berturut-turut tampil Festival Cak Durasim (2006 dan 2007). Di Nganjuk sendiri, Seni Mongde selalu dipentaskan untuk mengiringi Upacara Jamasan Pusaka, Kirap Pusaka, Gembyangan Waranggana, Ulang Tahun Kota Nganjuk, dan sebagainya. –hm/foto: cah bagus

--- BOKS ---

Mongde, Seni Penyamaran
Kalah melawan bangsa kolonial, tentara bangsa kita malah melahirkan kreatifitas kesenian tradisi yang amat bernilai.

Kelahiran kesenian Mung Dhe terkait erat dengan ontran-ontran di Jawa Tengah pada awal abad ke-19, yakni terjadinya peperangan Diponegoro (1923-1930). Perjuangan Pangeran Diponegoro melawan bangsa kolonial di Jawa Tengah waktu itu mendapati kegagalan. Pengikut Diponegoro tercerai-berai dan tersebar di Jawa Tengah hingga Jawa Timur.
Di tempat yang baru ini, sebagian ada yang sekadar mengungsi untuk menyelamatkan diri. Ada yang terus melanjutkan perjuangan walau dengan cara yang berbeda-beda; melalui dakwah keagamaan, kesenian tertentu, dan ada juga yang terang-terangan.
Seperti kesenian Mung Dhe yang ada sekarang, semula diciptakan oleh sisa-sisa prajurit Diponegoro yang menetap di Desa Termas Kecamatan Patianrono, Nganjuk. Kesenian ini dikreasi secara bersama-sama oleh 14 orang yang kesemuanya masih ada hubungan keluarga. Ke-14 sanak keluarga itu antara lain; Kasan Tarwi, Dulsalam, Kasan War, Kasan Taswut, Mat Kasim, Suto, Samido, Rakhim, Mat Ngali, Mat Ihsan, Mat Tasrib, Baderi, Mustari, dan Soedjak.
Penciptaan kesenian ini dimaksudkan untuk mengumpulkan prajurit Diponegoro yang tersebar di berbagai daerah. Dengan gerakan-gerakan yang khas yang menggambarkan gerakan perjuangan, seperti latihan baris-berbaris dan adegan perang, tari ini memang sarat dengan nilai perjuangan.
Cara seperti ini mereka tempuh untuk mengelabui Belanda yang selalu mengikuti dan mengintai ke mana sisa-sisa prajurit Diponegoro berada. Penyamaran mereka ternyata tidak diendus oleh Belanda. Belanda tidak mengetahui kalau para anggota kesenian Mung Dhe adalah prajurit yang sedang berlatih baris-berbaris dan latihan perang. Pimpinan prajurit menyamar dengan menggunakan topeng untuk menutup wajahnya sambil memainkan gerakan-gerakan lucu sebagai Penthul dan Tembem.
Kesenian ini kemudian keliling dan mengamen dari satu tempat ke tempat lainnya. Tak ayal, kesenian ini kemudian menjadi tontonan rakyat yang digemari dan berkembang dengan pesat, tidak hanya di Desa Termas tetapi meluas hingga ke daerah sekitarnya. –hm/foto: cah bagus

Tidak ada komentar: