Senin, 20 Agustus 2007

Balap Kuda Ramuan Madura

Memacu kuda lengkap dengan peralatan pengaman itu biasa. Tapi memacu kuda dengan tanpa helm atau topi, pelana, dan sepatu itu baru tantangan. Berani mencoba?

Sebagian warga Surabaya atau masyarakat Jawa Timur mungkin sudah akrab dengan lomba pacuan kuda, baik melihat langsung di arena pacuan kuda atau di tv-tv. Pacuan kuda yang diperlombakan biasanya mengitari arena dengan jarak tempuh sekitar 800 meter, lengkap dengan peralatan pengaman seperti helm, pelana dan sepatu. Tapi, bisa dipastikan tidak semua orang tahu dengan balap kuda tradisional. Balapan ini aturannya amat berbeda dengan lomba pacuan kuda seperti biasanya dan cukup menantang, yakni berpacu cepat (sprint) dengan jarak tempuh sekitar 300 meter lurus, tanpa dilengkapi helm, pelana dan sepatu sebagai medium pengaman.
Ketidaktahuan sebagian orang terhadap pacuan kuda atau lebih tepatnya balap kuda tradisional ini bisa dimaklumi. Sebab, jenis olahraga dan perlombaan ini penyelenggaraannya masih bersifat lokal, belum terpublikasikan sehingga gaungnya masih terbatas. Kemunculannya baru bisa disaksikan ketika diselenggarakan Balap Kuda Tradisional Suramadu 2003 di Pantai Ria Kenjeran Surabaya, awal Agustus lalu. "Ini event pertama kali di Surabaya setelah kita keluarkan dari kandangnya di Bangkalan, Madura," kata Faisal ST Wijaya, pembina acara balap kuda tradisional tersebut.
Dibanding pacuan kuda, balap kuda tradisional ini memiliki keunikan dan tantangan lebih besar. Keunikannya terletak pada sifatnya yang sprint, dengan arena balap yang lurus sepanjang 300 meter. Dalam perlombaan kuda yang ditandingkan pun hanya sepasang, dua-dua. Tidak seperti di pacuan yang berbarengan hingga 8 sampai 12 ekor kuda.
Tantangannya juga tergolong lebih berat. Bisa dibayangkan, memacu kuda dengan kecepatan maksimal, tapi si jockey tidak dilengkapi dengan alat pengaman seperti helm, pelana maupun sepatu. Kalau biasanya jockey di pacuan tangannya memegang list pengendali, ini hanya memegang cambuk, bahkan untuk kedua tangannya.
Hebatnya, selama pertandingan balap kuda tradisional ini diadakan, tidak ada kecelakaan yang fatal sampai menelan korban, seperti patah tulang atau lainnya. Paling hanya cedera karena jatuh. "Bukan sengaja kami mau menentang bahaya, tapi begitulah aturan dasar yang selama ini ada. Dan di situlah letak tantangannya, jadi tidak main-main dan tidak bisa dicoba sembarangan kalau belum terlatih," tandas Habib Muhdlor, ketua dewan steward, tim teknis sekaligus juri.
Kuda-kuda yang dipertandingkan terbagi dalam kelas-kelas yang berbeda dan unik. Kelas-kelas itu ditetapkan oleh Dewan Steward menurut tinggi dan jenis kuda. Ada kelas Lokal A (kuda asli Jawa dengan tinggi antara 140–144,9), dan Lokal B (tinggi 135-139,9). Ada pula kelas Sandel A (kuda peranakan hasil silang antara kuda Jawa dengan Sumbawa, misalnya, dengan tinggi antara 135-139,9), dan Sandel B (tinggi 130-134,9). Dalam pertandingan kelas-kelas itu masih dibagi lagi dalam dua tingkatan, yakni Atas-Bawah, baik untuk Lokal A-B maupun Sandel A-B.
Pengkelasan kuda ini, menurut Muhdlor, ditentukan berdasar aturan khusus di balap kuda tradisional. Sehingga tidak menutup kemungkinan, kuda-kuda yang biasa dipertandingkan di pacuan, kelasnya menjadi tidak berlaku ketika mengikuti balap kuda tradisional. "Karena itu, pada saat pengukuran kuda kita lakukan dengan detil, karena ini sensitif."
Aturan yang ketat dan model perlombaan yang bebas tanpa pengaman toh tidak menyurutkan para petanding sejati. Terbukti, lebih dari 30 pasang kuda ikut bertanding dalam Balap Kuda Tradisional Suramadu Agustus 2003 lalu. "Sebagai pertandingan awal, animo masyarakat cukup memuaskan. Baik dari segi peserta maupun penontonnya," ungkap Faisal. Mereka datang dari berbagai daerah, seperti dari Bangkalan Madura, Gresik, Pasuruan dan beberapa daerah yang lain.
Sebagai sebuah pertandingan, iming-iming hadiah yang ditawarkan cukup menggiurkan. Meski diakui Faisal hadiah ini bukan tujuan utama, tapi hanya untuk merangsang minat para petanding untuk mengikuti pertandingan. "Rata-rata Rp 2 juta untuk setiap kelas, plus asuransi dan kompensasi rawat inap kuda sekitar Rp 500 ribu."

Tradisi
Balap kuda tradisional yang kini menjadi program andalan Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (Pordasi) Cabang Bangkalan, lahir dari sebuah tradisi. Kalau Madura secara keseluruhan terkenal dengan Kerapan Sapi yang kini telah mendunia, Bangkalan memiliki tradisi balap kuda tradisional, yang tidak dimiliki tiga kecamatan lainnya di Madura. Dan Kerapan Sapi mengilhami aturan-aturan yang kemudian diberlakukan pada balap kuda ala Bangkalan itu.
Awalnya, transportasi vital yang digunakan orang untuk menjangkau desa-desa terpencil adalah dokar atau andong. Suatu ketika selepas ‘narik’, orang-orang berkumpul, saling ejek dan saling tantang untuk mengadu balap kuda-kuda miliknya. Akhirnya, kuda-kuda itu dilepas dari dokar dan dibalap.
Mula-mula arena balapan dilakukan di sawah-sawah, di lapangan terbuka atau dimana saja yang bisa digunakan jadi arena. Hingga tahun 1979, balapan kuda makin semarak. Dari dua pasang kuda, empat pasang sampai mencapai puluhan pasang dalam setiap pertandingan. Tidak melulu hanya pertandingan, bahkan untuk acara-acara tertentu balap kuda kerap menjadi tontonan dan tanggapan.
Baru pada tahun 1985, ketika Pordasi Bangkalan terbentuk, balap kuda ini diwadahi dalam organisasi resmi. Penyelenggaraannya dijadwal, aturan-aturan dibuat dan pembinaan pun dilakukan. Tak ada kendala dengan aturan-aturan baru itu. "Karena aturan itu dibuat hampir mirip dengan kerapan sapi. Jadi orang-orang sudah terbiasa dan tinggal menyesuaikan beberapa hal saja," tutur RH Nasir Zaini, Ketua Pordasi Cabang Bangkalan.
Kian hari acara balapan kuda makin sering diselenggarakan. Kalau semula yang bertanding hanya terbatas pada para pemilik dokar, lambat laun hampir semua orang ikut terlibat. Mulai dari para habaib atau para kyai, pejabat desa bahkan para pengusaha. "Mereka kadang bukan memburu pertandingan, tapi hanya untuk rekreasi dan refreshing, seneng-seneng," katanya.
Penonton pun makin membludak. Tidak hanya para pecinta kuda, orang-orang tua, anak-anak bahkan satu keluarga ikut berbondong-bondong menyaksikan perlombaan. Setiap perlombaan bisa mencapai 5000 lebih penonton.

Obyek Wisata
Membludaknya penonton dalam setiap pertandingan kemudian menjadi pertimbangan tersendiri bagi Pordasi Jawa Timur untuk menyelenggarakan balap kuda tradisional ini di Jawa. Mula-mula di Surabaya dan diharapkan bisa juga dilaksanakan di daerah yang lain. Sehingga bukan hanya warga Bangkalan yang menikmati, tapi masyarakat luas juga bisa mengenal dan ikut menikmatinya.
Pada dasarnya, menurut Faisal, balap kuda tradisional ini bukan hanya bisa dibuat pertandingan, tapi juga indah untuk ditonton. Modelnya yang unik dan tidak umum itu, bisa dikembangkan menjadi lebih menarik. Sehingga suatu saat olahraga ini akan mampu dijadikan sebagai obyek wisata bagi daerah Bangkalan, lebih dari itu menjadi ikon bagi Jawa Timur.
Hanya saja untuk mewujudkan gagasan itu bukan pekerjaan mudah dan bisa dilakukan orang-perorang. "Harus ada keterlibatan banyak pihak untuk menjadikan balap kuda tradisional menjadi aset wisata. Kalau penyelenggaraan kemarin (Suramadu Agustus 2003, red) masih terbatas sebagai pertandingan, belum mengarah sebagai tontonan," katanya. "Tidak mudah dan tidak bisa dilakukan hanya oleh saya, tapi bisa juga orang lain yang menyelenggarakan. Justru dengan semakin banyak pihak yang menyelenggarakan, tingkat pemasyarakatannya akan semakin cepat."
Langkah selanjutnya, dalam rencana Faisal mengungkapkan, penyelenggaraannya akan dijadwal secara periodik lebih sering. "Kalau untuk pertandingan mungkin akan kita laksanakan sebulan sekali, dan sebagai tontonan akan lebih sering, mungkin setiap minggu," tambahnya. Bahkan dalam waktu dekat akan bekerjasama dengan salah satu stasiun televisi lokal untuk meliput secara khusus dan mempublikasikannya agar dapat diakses oleh masyarakat lebih luas.
Pihak-pihak yang diharapkan ikut mendorong percepatan balap kuda tradisional ini menjadi obyek wisata, antara lain dunia usaha atau pengusaha secara perorangan dan biro-biro perjalanan wisata. Kalangan usaha diharapkan dukungannya dalam aspek pendanaan, sementara biro perjalanan wisata ikut mendukung dalam aspek publikasinya.
"Media promosi yang terutama kita miliki kan biro-biro tour-travel, karena mereka yang banyak berhubungan dengan manca negara. Mereka kita harapkan lebih sering mengenalkan acara ini kepada pelanggannya. Sebenarnya pihak ini yang paling krusial," ia menandaskan. Toh ia tak menutup keterlibatan dan dukungan pihak-pihak terkait, seperti Koni, Pordasi maupun Dinas Pariwisata.
Agar menjadi tontonan yang indah dan layak dijual sebagai aset wisata kepada turis, ia dan pihak Pordasi Bangkalan akan mencoba memberi make up. Misalnya, diselingi dengan tari-tarian tradisional pada pembukaan dan penutup, atau perlengkapan kostum kedaerahan. "Paling penting yang selalu saya tegaskan kepada teman-teman, bahwa ini harus diperjuangkan. Kalau ini bisa terwujud, seperti kerapan sapi, akan bisa menjadi wisata yang mendunia." -hm


1 komentar:

Unknown mengatakan...

Ralat dikit mas. Kuda sandel adlah kuda asli dari pulau sumba NTT bukan kuda dari sumbawa NTB.