Selasa, 12 Februari 2008

Kidung Cinta, Ludruk Kota

Ludruk setia mengawal sejarah bangsa ini. Tapi keberadaan grup ludruk timbul tenggelam seiring dominasi budaya modern yang kian terus menjerat eksistensi.

Meski nasib ludruk bukan lagi menjadi hiburan unggulan masyarakat, diam-diam ludruk di daerah terus menakar eksistensi. Selain rutin melakukan pementasan dalam berbagai acara perhetalan di daerah, mereka pun secara rutin tampil di Taman Budaya Jawa Timur (TBJT). Lebih kurang setahun penuh, TBJT menggelar pementasan ludruk yang melibatkan grup-grup ludruk terkemuka di Jawa Timur.
Simak misalnya, Grup Karya Budaya Mojokerto (Sawunggaling, Maret 2007), Mustika Jaya Jombang (Geger Pabrik Kedawung, April 2007). Timbul Jaya Probolinggo (Pak Sakerah, Mei 2007), Warna Jaya Sidoarjo (Babad Suroboyo, Juni 2007), Bangun Tresno Lumajang (Joko Sambang, Juli 2007), Taruna Budaya Malang (Branjang Kawat, Agustus 2007).
Kemudian, berturut-turut penampilan luduk dipentaskan oleh Irama Budaya Surabaya (Sogol Pendekar Sumur Gumuling, 8 September 2007), Orkanda Malang (Maling Cluring, 29 Nopember 2007), Budi Jaya Jombang (Sarip Tambak Oso, 6 Desember 2007), dan Perdana Pasuruan (Untung Suropati, 10 Januari 2008).
Namun, keberadaan ludruk kini tak lagi seperti dulu. Publik yang mengapreasi pentas ludurk juga mengalami ambigu. Ludruk yang berkembang sejak sekira tahun 1985 hingga sekarang, tidak sama dengan 1980-an atau tahun-tahun sebelumnya. Pada perkembangannya, ludruk yang berkembang dulu kebanyakan adalah ludruk tobong atau tunilan. Istilah tobong untuk menggambarkan, setiap pertunjukan ludruk lokasinya dikelilingi seng dan penonton harus membayar tiket masuk untuk dapat menikmatinya.
Di Surabaya, kata Hengki Kusuma, pegiat seni ludruk dari Dewan Kesenian Surabaya, dulu ada banyak ludruk tobong. Menyebut beberapa yang paling terkenal, antara lain Kopasgat, Sarimurni dan Baru Budi. Kelompok ludruk ini sering nobong di Pulo Wonokromo. Sering pula di lapangan Pacar Keling dan Gedung Kalibokor Surabaya.
Lokasi pementasannya memang berpindah-pindah, tergantung selera pasar. Saat itu, kata Hengky, ludruk tobong sangat berjaya. Dalam semalam, bisa mendapat hasil hingga Rp 2 juta. Angka ini sangat mengesankan, untuk ukuran saat itu. “Seingat saya, ludruk Kopasgat pernah menembus angka Rp 3 juta semalam,” ungkap pelaku ludruk RRI Surabaya.
Sekali nobong, sebuah kelompok ludruk bisa menetap hingga tiga bulan di suatu tempat. Namun tidak lebih. Sebab, cetusnya, melebihi waktu tiga bulan, pementasan ludruk itu sudah jarang didatangi pengunjung. Bila sudah demikian, mau tidak mau kelompok ludruk tobong harus mencari tempat baru. “Dan biasanya mereka memilih pindah ke luar kota,” imbuhnya.
Karenanya, ludruk tobong lambat laun mulai kehilangan stamina. Satu persatu berguguran, dan berganti dengan munculnya ludruk teropan atau tanggapan. Namun, ludruk tobong tak hilang sama sekali. Ada sebuah catatan menyebutkan, pada 1994, grup ludruk keliling tinggal 14 grup saja. Mereka main di desa-desa yang belum mempunyai listrik dengan tarif Rp 350. Grup ini didukung oleh 50–60 orang pemain. Penghasilan mereka sangat minim antara Rp 1500 – Rp 2500 per malam. Bila pertunjukan sepi, terpaksa mengambil uang kas untuk biaya makan di desa.
Hingga kini pun, menurut catatan Hengky, masih ada sekitar enam ludruk tobong di Jawa Timur. Sebut misalnya, Irama Budaya (Surabaya), Mandala (Mojokerto), Satriya Manggala (Pare Kediri), Mamik Jaya (Trenggalek), Bangkit Budaya (Madiun), dan sebuah kelompok ludruk di Tulungagung.

Dialektika
Ludruk terop sendiri mengalami booming pada 1985. Ludruk terop artinya sebuah kelompok ludruk yang pentas berdasar pesanan. Misalnya pada acara perkawinan, sunatan, sedekah bumi, ulang tahun, atau agustusan. Mereka biasanya memiliki sekretariat di daerah tertentu, dan baru pentas kalau ada pesanan tanggapan.
Namun, jangan disangka ludruk sudah ditelan zaman. Untuk beberapa kasus, mungkin ya. Tapi, pada kasus lain kita akan disentakkan betapa jam terbang mereka tercatat luar biasa. Mereka bisa mengadakan pementasan hingga lebih dari 150 kali dalam setahun. Suatu angka yang fantastis!
Hengky sempat merangking kelompok-kelompok ludruk paling laris di Jawa Timur, berdasar jumlah tanggapannya. Kelompok ludruk itu diantaranya; Ludruk Karya Budaya (Mojokerto), Budhi Wijaya (Mojokerto), Mustika Jaya (Jombang), Karya Baru (Mojokerto), dan Putra Wijaya (Jombang).
Berdasar penelusuran ke kelompok-kelompok ludruk itu, tak bisa dielakkan bahwa kelompok ludruk itu dikelola cukup profesional. Manajemennya rapi, dan propertinya lengkap. Plus tentu saja para pemainnya adalah seniman ludruk yang sudah mumpuni. Mereka juga mengadakan perubahan di beberapa bagian, meski tak merombak pakem ludruk seperti dimulai dari remo, dilanjutkan lawakan dan gending jula-juli, dan cerita.
Kelompok ludruk tersebut juga berani mematok harga yang lumayan tinggi. Rata-rata biaya yang mesti dikeluarkan untuk sekali penampilan mereka antara Rp 6 juta – Rp 7 juta. Namun, dengan harga yang dipatok itu bukan berarti tanggapan kelompok ludruk ini menurun. Berdasar penuturan para ketua ludruk itu, mengapa masyarakat masih menggandrungi ludruk karena beberapa keistimewaan yang dimiliki.
Ada yang memiliki pemain andalan pada lawakannya, ada pula yang mengandalkan remo dan tandaknya. Dan dengan harga yang dipatok itu, si pemesan tahu beres karena semua perlengkapan properti sudah disediakan kelompok ludruk. Dengan kelengkapan seperti itu, mereka justru banyak belajar untuk menata setting panggung, lighting, tata suara dan sebagainya. Semakin apik garapannya, makin menarik ludruk yang pentas.

Balada Ludruk Kota
Sayangnya, di tengah perjalanan kelompok ludruk yang terus menata diri, ada banyak kelompok ludruk yang menghadirkan diri sambil mengelola manajemen kesenian miliknya secara apa adanya. Kondisi ini, tukas Hengky, dipicu oleh mudahnya seseorang atau sekelompok orang mengurus Nomor Induk Kesenian (NIK). NIK ini sekarang diurus oleh Dinas Pariwisata, dulu diurus oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Akibat kemudahan itu, ucapnya, menjadikan persaingan di kalangan ludruk makin sengit. Betapa tidak, kelompok ludruk yang memiliki NIK di Surabaya maupun kota-kota lain jumlahnya ratusan. “Sebagian besar mereka bukan seniman. Kalau mereka dapat tanggapan, tinggal comot kenalannya ala kadarnya. Bahkan mereka berani banting harga,” tukasnya.
Akhirnya yang terjadi seleksi alam. Katanya, mereka yang asal tampil begitu mendapat tanggapan, tanpa bekal kesenimanan akan tumbang sendiri. Di Surabaya juga mengidap penyakit serupa. Tak heran, tambahnya, kelompok-kelompok ludruk di kota yang disebut-sebut sebagai kota ludruk ini, satu persatu berguguran. Kelompok ludruk yang masih bertahan pun hanya sedikit mendapat tanggapan.
Ditambah lagi, ulasnya, apresiasi publik Surabaya lebih tersedot pada kontes-kontesan, atau tenggelam menikmati tayangan seni-seni modern. Kesenian tradisional akhirnya lari ke pinggir-pinggir kota. Berbagai upaya dilakukan untuk mendekatkan ludruk dengan publik Surabaya, tapi tak cukup signifikan menyedot perhatian. Dewan Kesenian Surabaya, misalnya, membuka kran pada kelompok ludruk untuk tampil dua kali dalam sebulan, tak ada gaungnya. Pernah pula diadakan festival bagi grup-grup ludruk di Surabaya untuk memperebutkan tiga besar terbaik, tak kedengaran hasilnya.
Alhasil, dunia ludruk masih memprihatinkan nasibnya. Apalagi ludruk di Surabaya. Para seniman ludruk masih banyak yang sibuk dengan eksplorasi seni, atau eksplorasi jiwa bahkan sedang menganggur. Tak jarang mereka kembali ke desa untuk bertani. Sebagian lainnya bahkan hanya menunggu uluran tangan pemerintah untuk menyelamatkan keberadaan grup ludruknya yang kembang kempis. –hm/foto: cahbagus

--- BOKS ---
Ludruk Mengawal Jaman
Ludruk tidak terbentuk begitu saja. Ia mengalami metamorfosa yang panjang. Tidak cukup data untuk merekonstruksi waktu yang demikian lama. Hanya, Hendricus Supriyanto, pengamat seni ludruk, pernah mencatat ludruk sebagai teater rakyat dimulai tahun 1907, oleh Pak Santik dari Desa Ceweng, Kecamatan Goda Kabupaten Jombang.
Bermula dari kesenian ngamen yang berisi syair-syair dan tabuhan sederhana, Pak Santik bersama Pono dan Amir, berkeliling ke desa-desa. Pono mengenakan pakaian wanita dan dirias coretan pada wajahnya. Melihat itu, lahirlah istilah Lerok di kalangan penonton. Pertunjukan seni inipun mendapat sambutan penonton. Dalam perkembangannya, mereka sering diundang untuk mengisi acara pesta pernikahan dan pesta rakyat lainnya.
Selanjutnya, acara yang disuguhkan mengalami perubahan. Sebelum pertunjukan, diawali upacara persembahan untuk penghormatan ke ke empat arah angin atau empat kiblat. Pemain utama memakai topi merah Turki, tanpa atau memakai baju putih lengan panjang dan celana stelan warna hitam. Dari sini, berkembanglah sebutan lerok menjadi lerok besutan. Lerok besut tumbuh subur pada 1920-1930. Setelah itu, bermunculan ludruk di Jawa Timur. Istilah lerok dan ludruk terus berdampingan sejak kemunculannya sampai tahun 1955. Namun, masyarakat dan seniman cenderung memilih ludruk.
Sezaman dengan dr Soetomo, pada 1933 Cak Durasim mendirikan Ludruk Oraganizatie (LO). Ludruk inilah yang merintis pementasan ludruk berlakon dan amat terkenal keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan Belanda maupun Jepang. Bahkan, karena kidungan Jula Juli-nya yang melegenda itu; Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro, ia dan kawan-kawan dipenjara oleh Jepang.
Pada masa kemerdekaan (1945-1965), ludruk yang terkenal adalah “Marhaen” milik “Partai Komunis Indonesia”. Ludruk digunakan sebagai corong PKI untuk penggalangan masa. Ada dua grup ludruk yang terkenal saat itu; Marhaen dan Tresna Enggal. Ludruk Marhaen pernah main di Istana Negara 16 kali. Ludruk ini juga berkesempatan menghibur para pejuang untuk merebut kembali Irian Jaya, TRIKORA II B. Ketika terjadi insiden G30S PKI, ludruk ini bubar.
Peristiwa G30S memporak-porandakan grup ludruk, terutama yang berafiliasi kepada Lembaga Kebudayaan Rakyat milik PKI. Terjadi kevakuman antara 1965-1968. Sesudah itu, muncullah kebijaksanaan baru terhadap grup-grup ludruk di Jawa Timur.
Peleburan ludruk dikoordinir oleh angkatan bersenjata, yaitu DAM VIII Brawijaya. Peleburan ini terjadi antara 1968-1970. Grup yang dilebur antara lain; eks-ludruk Marhaen di Surabaya menjadi ludruk Wijaya Kusuma unit I, eks-ludruk Anogara Malang menjadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit II, eks-ludruk Uril A Malang menjadi Ludruk Wijaya Kusuma unit III, dan dibina Korem 083 Baladika Jaya Malang, eks-ludruk Tresna Enggal Surabaya menjadi Ludruk Wijaya Kusuma unit IV, dan eks-ludruk Kartika di Kediri menjadi Ludruk Kusuma unit V.
Di berbagai daerah, ludruk dibina oleh ABRI sampai tahun 1975. Sesudah itu mereka kembali ke grup seniman ludruk yang independen hingga kini. Pada masa ini ludruk benar-benar menjadi alat hiburan. –hm/foto: cahbagus

LUDRUK DI JATIM

1. Ludruk Karya Budaya
Pimpinan : Edy Susanto
Rumah : Ds. Canggu Kec. Jetis Kab Mojokerto (utara sungai dekat pabrik Ciwi Kimia)
Telp. 0321-362847
Kantor : Jl. Empu Nala 115 Kota Mojokerto
Telp. 0321-323594, 08123189347
2. Ludruk Budhi Wijaya
Pimpinan : Sahid P
Dusun Simowau Desa Keapang Kuning Kec. Ngusikan Kab. Jombang
(Padangan, Pabrik Gula 10 km arah barat)
Telp. 0321-885146, 0321-7154077
3. Ludruk Mustika Jaya
Pimpinan Agil Suwito Ketua Ludruk Mustika Jaya
Ds. Kedungrejo Kec. Megaluh Jombang
(Terminal Ploso, 10 km arah kanan)
Telp. 0321-885023, 08175285022
4. Ludruk Karya Baru
Pimpinan : H. Hadipura
Ds. Mlaten Dukuh Bedog Kec. Puri Mojokerto
Telp. 0321-331755, 085648036580
Atau Jl. Simogunung (Toko Marliyah Abadi) Surabaya
5. Ludruk Putra Wijaya
Pimpinan : Sunarso
Ds. Losari Krajan Kec. Ploso Jombang
Telp. 0321-888943

Sumber : Hengki Kusuma, 2006

3 komentar:

infogue mengatakan...

Artikel di blog ini menarik & bagus. Untuk lebih mempopulerkan artikel (berita/video/ foto) ini, Anda bisa mempromosikan di infoGue.com yang akan berguna bagi semua pembaca di tanah air. Telah tersedia plugin / widget kirim artikel & vote yang ter-integrasi dengan instalasi mudah & singkat. Salam Blogger!
http://www.infogue.com
http://seni-budaya.infogue.com/kidung_cinta_ludruk_kota

Unknown mengatakan...

http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/22/11581226/itb.gelar.pesta.rakyat.jawa.timuran

ITB Gelar Pesta Rakyat Jawa Timuran

Sabtu, 22 November 2008 | 11:58 WIB

BANDUNG, SABTU--Institut Teknologi Bandung (ITB) menggelar "Pesta Rakyat Jawa Timuran 2008" yang akan dilaksanakan di Kampus Ganesha Kota Bandung, 30 November 2008 mendatang.

Pesta Rakyat Jawa Timuran 2008 itu mengambil momentum yang bertepatan dengan ulang tahun perak atau 25 tahun terbentuknya "Loedroek ITB".

Kegiatan ini untuk mengenalkan seni Jatim dan membangkitkan semangat nasionalisme melalui penguatan benteng budaya, sekaligus mencari solusi berbagai masalah yang dihadapi bangsa ini," kata Rizki Primasakti, Ketua Panitia Pesta Rakyat Jawa Timuran 2008, di Bandung, Jumat.

Rangkaian kegiatan pesta itu antara lain tradisi "Nggendheng Loedroek", Festival Seni Budaya dan kuliner Jawa Timur, diskusi panel "Kerajaan Indonesia, Kenapa Nggak?" serta Maen Gedhe Loedreok ITB dengan lakon "Deja vu De Java" di Sasana Budaya Ganesha 30 November mendatang.

Kegiatan pesta rakyat itu diisi juga dengan tari tradisional Jatim seperti Jejer, Gandrung dan Ngremo. Kemudian, Reog Ponorogo, kesenian patrol dari Banyuwangi, stan komunitas budaya, stan Loedroek ITB.

Sedangkan parade kuliner antara lain festival kuliner, stan jamu, pecel Madiun, sate Ponorogo, rujak cingur, rawon, soto Lamongan, bebek goreng serta aneka jajanan pasar khas Jawa Timur.

Selain itu juga akan dilakukan kolaborasi Darma Wanita Loedroek ITB dengan Keroncong Merah Putih Bandung.

Loedroek ITB bermula dari pendirian perkumpulan seni Guyu Sedaya Jamuran yang merupakan singkatan Paguyuban Seni Budaya Jawa Timuran.

Kemudian perkumpulan itu populer dengan Loedroek ITB yang pentas dengan Bahasa Indonesia tapi tetap mempertahankan pakem ludruk asli dengan gaya mahasiswa ITB. (ANT)

iwan mengatakan...

Sayangnya sampai saat ini, para pemilik grup, pelaku atau seniman ludruk,malas/ogah2 an mencari akar masalah kenapa ludruk semakin tersingkirkan, coba melakukan survey atau jajak pendapat dikalangan anak muda terutama daerah perkotaan (krna daerah ini, ludruk dianggap sebelah mata), kenapa dan apa penyebab mereka kurang atau bahkan tidak menyukai kesenian ludruk. Kalaupun ada, kebanyakan para pelaku atau orang-orang yang terlibat dengan kesenian ludruk malah enggan menerima pendapat-pendapat yang diperoleh. Contohnya: jalan cerita yang monoton, over acting, pemakaian make up yang berlebihan, lebih memilih waria daripada wanita dsb